Ternate,- Sebagai daerah kesultanan, tradisi Islam sangat terasa dalam aktifitas keseharian masyarakat Maluku Utara. Salah satu tradisi Islam yang sangat kental terlihat, terutama memasuki bulan ramadhan adalah ziarah kubur.
Memasuki ramadhan, lokasi-lokasi pekuburan penduduk selalu ramai oleh warga yang berziarah. Salah satu tanaman yang biasa digunakan sebagai pelengkap dalam ziarah kubur tersebut adalah pondak (pandan). Jika di daerah lain kita mengenal ritual tabur bunga (nyekar), maka di Maluku Utara terdapat ritual fiyau kubur yaitu menaburkan irisan pondak (daun pandan) di atas pusara kerabat yang dikunjungi.
Kebiasaan menabur irisan pondak telah dikenal masyarakat Islam Maluku Utara secara turun temurun, tidak lengkap rasanya bilamana berziarah tanpa melakukan ritual fiyau kubur tersebut. Hal inilah yang menyebabkan permintaan akan daun pondak selalu tinggi, terutama pada saat memasuki bulan ramadhan atau hari raya Islam. Sebagian masyarakat pun kemudian menjadikan daun pondak sebagai salah satu komoditas, karena terbilang laris di pasaran. Pondak yang mulanya hanya merupakan tanaman pekarangan, kini mulai dibudidaya.
Di Kota Ternate, Kebutuhan yang tinggi akan pondak ternyata berbanding terbalik dengan nasib para petani yang juga pedagang pondak. Harga pondak yang relatif murah, ditambah tidak tersedianya lokasi khusus, membuat para pedagang pondak di Ternate mengaku kesulitan.
Pandangan masyarakat bahwa pondak adalah komoditas musiman, menyebabkan para pedagang pondak di pasar-pasar di Ternate seperti tersisihkan. Meskipun dibutuhkan, para pedagang pondak mengaku tidak mendapat tempat ketika harus berjualan di pasar, khususnya di pasar higienis kota Ternate.
Demikianlah yang disampaikan oleh ci Buju (57), seorang pedagang pondak asal kelurahan Fitu Ternate. Ia mengaku, memasuki bulan ramadhan, permintaan akan daun pondak meningkat tajam. Memotong, menyusun dan mengikat daun pondak kemudian dijual, adalah aktifitas yang setiap hari ia kerjakan bilamana bulan puasa tiba, dari semenjak pagi hingga malam hari.

Saat dijumpai reporter Sentranews.id di kediamannya beberapa waktu yang lalu (10/4), ci Buju dan seluruh anggota keluarganya tengah sibuk mempersiapkan daun pondak yang akan dibawa ke pasar higienis Ternate. Kelurahan Fitu memang sejak lama dikenal sebagai sentra penghasil pondak di Kota Ternate. Setidaknya kurang lebih 50 keluarga yang merupakan petani sekaligus pedagang pondak.
Sementara Arino (30), anak ci Buju, mengaku rutin membantu ibunya berdagang pondak. Kegiatan memotong, menyusun dan mengikat pondak sudah biasa ia kerjakan semenjak kecil. Seringkali ia juga ikut berjualan di pasar. Arino juga bercerita, bahwa para petani pondak yang ada di pasar higienis kerap mengeluhkan perlakuan tidak adil yang mereka alami. Pedagang pondak sepertinya tidak diberi tempat yang layak di pasar higienis Ternate.
“Torang kalao potong pondak trus kadara basusun deng ika itu pondak, hanya saja saat bajual selalu bermasalah,” ungkapnya.
Daun pondak sendiri dijual dengan harga yang variatif. Jika beli langsung ke kebun, daun pondak dihargai Rp. 1000 per helai. Sedangkan per ikatnya (500 helai) daun pondak dihargai Rp.135.000 s/d Rp. 170.000. Berbeda halnya jika sudah di pasar, selain dijual per helai daun, daun pondak di pasar juga dijual dalam bentuk irisan yang dipadu dengan irisan beberapa jenis bunga dan dipaket kedalam kantong-kantong plastik berbeda ukuran. Di pasar higienis, 1 mangkok irisan daun pondak, ditawarkan dengan harga Rp. 5000, Rp 10.000/ kantong plastik ukuran sedang dan Rp. 20.000/ kantong plastik ukuran besar.
Selain untuk kebutuhan ziarah di Ternate, daun pondak dari Fitu juga menjadi andalan warga yang hendak berziarah ke daerah lain. Nur (46), seorang warga Ternate yang ditemui di pasar higienis, kepada kami mengaku hendak berziarah ke makam keluarganya di Tidore. Karena itu ia memilih untuk membeli pondak di ternate, agar ketika sampai di Tidore, ia tidak lagi repot mencari daun pondak.
“Saya tinggal di Ternate mau ziarah kuburan di Tidore, karna tau disana pondak jarang jadi sekalian beli disini saja, saya beli harga Rp.50.000 ini biar banyak, biar tara kurang kalo so disana. Jadi penjual dong kase cukup deng dia pe harga,” jelasnya.
Meskipun dagangannya ramai di buru pembeli, nasib pedagang pondak seperti kurang diperhatikan. Di pasar higienis Ternate, para pedagang pondak yang mayoritas berasal dari kelurahan Fitu tersebut, mengaku tidak disediakan tempat khusus oleh pengelola. Karena itu, mereka terpaksa menggelar dagangannya di emperan kios pedagang lain. Sehingga tidak jarang terjadi adu mulut dan cekcok antara mereka, bahkan diusir oleh pemilik kios.

Menurut Siafria (30), pedagang pondak asal Fitu, menjelaskan bahwa semula, para pedagang menjajakan daun pondak di trotoar depan pasar higienis. Kemudian oleh petugas, mereka lalu digiring masuk ke dalam pasar dan terpaksa harus berjualan di emperan kios hingga di usir oleh pemilik kios.
“Torang sebagai penduduk asli di kota ini, yang bajual di sini, tra diperhatikan, sedangkan pendatang yang hanya bermodal kontrak tempat saja bisa usir pe torang,” ungkapnya.
Selain resiko diusir, para pedagang pondak juga dibebani iuran Rp.2000/ hari. yang ditagih oleh petugas Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup
“Pokoknya tiap hari kalo so bajual itu akan ada pegawai dari dinas pasar atau dari mana itu dong datang tagih Rp.2000, tong iko saja biar bukan tong pe tampa,” tambahnya.
Tri (29), petugas dari Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Ternate, menyatakan bahwa dengan adanya penagihan iuran ini akan mempermudah pedagang dalam berjualan, terutama dari aspek kebersihan lapak.
“Torang dari dinas kebersihan dan lingkungan hidup akan selalu menarik iuran dengan beban biaya Rp.2000 per/pedagang, hal ini sebenarnya untuk mempermudah pedagang tertentu deng dong p tampa bajual, kalo bersih,” ungkapnya.
Semoga nasib pedagang pondak lebih diperhatikan oleh Walikota baru Ternate.
Reporter : Arqam Djumad
Editor : Redaksi