Jika tren ini merambah di Halmahera Barat, maka sudah barang tentu kita tengah menyaksikan proses normalisasi jalan pintas, di mana pendidikan dikalahkan oleh pragmatisme ekonomi jangka pendek.

Pemerintah daerah pun tampak belum memiliki kebijakan strategis yang memprioritaskan pendidikan dalam peta besar pembangunan. Padahal, jika tidak segera diintervensi, kita akan menciptakan generasi muda yang tergoda oleh jalan pintas ekonomi, namun kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi intelektual mereka.

Emile Durkheim, seorang tokoh sosiologi Prancis, dalam bukunya “Education and Sociology” berargumen bahwa, pendidikan adalah salah satu faktor terpenting dalam pembentukan masyarakat yang terstruktur dan harmonis. Pendidikan menurut Durkheim, tidak hanya mencetak individu-individu yang terampil, tetapi juga membangun keterikatan sosial di antara mereka.

Pembangunan suatu negara tidak bisa terlepas dari bagaimana nilai-nilai sosial dan budaya diteruskan dan diinternalisasi melalui pendidikan. Dalam konteks Indonesia, pendidikan yang inklusif dan merata dapat memperkuat fondasi sosial dan mempercepat pembangunan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dalam agama Islam, pendidikan merupakan posisi yang sangat penting dan merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Beberapa poin utama tentang pendidikan menurut Al-Qur’an ialah Ilmu sebagai jalan menuju Ketakwaan, Al-Qur’an secara eksplisit mengangkat derajat orang-orang berilmu yang ditegaskan dalam (QS. Al-Mujadila: 11) “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Bukan hanya Islam saja yang menganjurkan untuk berpendidikan, Agama Kristen pun demikian, yang dimana telah ditekankan dalam (Amsal 22:6); “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Ironisnya, pemerintah justru abai terhadap kondisi pendidikan yang kian tertinggal. Tidak ada program kompensasi pendidikan yang konkret dari aktivitas pertambangan. Tidak ada jaminan bahwa royalti dan dana CSR perusahaan benar-benar dialokasikan untuk membangun sekolah, mendanai beasiswa, atau memperkuat kapasitas guru.

BACA JUGA   Bahoba Pulau Nelayan: Harmoni Alam dan Kehidupan Tradisional

Soe Hok Gie, aktivis dan intelektual Indonesia, dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan, “Nasionalisme yang tidak memperhatikan nasib rakyat kecil adalah omong kosong.” Pernyataan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa pendidikan yang tidak berbasis pada nilai keadilan sosial dan moralitas hanya akan menciptakan generasi yang apatis terhadap penderitaan masyarakat.

Di tengah ketimpangan yang ada, kita perlu kembali meneguhkan peran pendidikan sebagai pembangun karakter bangsa yang beradab dan berkeadilan. Seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga mengembangkan karakter moral dan sosial.

Akhirnya, ini bukan sekadar soal infrastruktur, tapi soal keberpihakan. Pendidikan seharusnya menjadi poros dari pembangunan. Karena tanpa pendidikan, kita hanya mencetak buruh tambang, bukan pemilik tambang. Kita hanya mencetak penonton sejarah, bukan pelaku masa depan.