Oleh : Firman M Arifin
Pegiat Literasi Independensia
Halmahera menjadi oikos (rumah) bukan hanya manusia, namun mahluk hidup lainnya, dalam rimba Halmahera pertautan mutualisme terjalin secara organik. Hanya dalam rimba Halmahera keciak burung bidadari Halmahera didengar, walau pun arus modernisasi menerobos batas-batas geografi, hal itu tidak terlalu signifikan terlihat dalam lingkungan sosial masyarakat Halmahera, mereka mengganggap lebih nyaman atau terlanjur nyaman menggantungkan hidup terhadap alam Halmahera.
Di dalam rimba Halmahera yang menyimpan keanekaragaman hayati endemik, semisal jenis burung paruh bengkok; Nuri kasturi Ternate dan Kakak tua putih di samping itu ada juga Bidadari Hamahera dan juga lebah terbesar di dunia, lebah raksasa Wallacea (Megachile pluto) menyebar dalam rimba Halmahera. Halmahera demikian menjadi destinasi kultural, sistem komunal Halmahera yang masih tradisional, masih mengandalkan sapi sebagai alat transportasi, setiap pekerjaan dilakukan secara gotong royong dan manual.
Namun Halmahera demikian juga terlanjur menjadi paradoks, berbagai kejahatan lingkungan dapat kita jumpai dengan mudah seperti maraknya pemburuan jenis burung endemik, pertambangan yang memicu konflik sosial, belum lagi peristiwa yang luput dari publikasi media. Persoalan lingkungan yang melilit Halmahera menjadi persoalan kompleks, kongkalikong antar pemodal dan penguasa demi eksploitasi sumber daya alam Halmahera memicu ketimpangan relasi antara manusia dan alam. Padahal Halmahera terlanjur menjadi dapur yang menghidupi seluruh spesies mahluk hidup selain manusia, relasi yang terjalin secara mutualisme tersebut menjadi tantangan masyarakat yang dihadapkan dengan sikap apatis kekuasaan yang memandang alam secara mekanistik yaitu melihat alam menjadi bagian yang terpisah, dan harus dieksploitasi demi nilai ekonomis.
Transformasi Halmahera dewasa ini yang terjebak dalam arena pertarungan ekonomi melalui ekploitasi sumber daya alam, mempunyai korelasi penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan atau perubahan paradigma yang mengakar jauh kebelakang.
Capaian manusia dalam penaklukan alam semesta ditandai dengan paradigma yang memisahkan bentuk dari esensi alam, gaya paradigma semacam ini dikenal sebagai paradigma mekanistik, Francis Bacon melalui adegium “knowledge is power” pengetahuan adalah kekuasaan dengan metode induksinya telah mengubah arah ilmu pengetahuan yang berpijak pada pemahaman yang arif terhadap realitas berubah, metode Bacon adalah menguasai alam semesta, mengubah dan menjadikan alam sebagai objek pemuas kebutuhan manusia (Keraf :2014:59) Metode induksi Bacon disempurnakan oleh Descartes melalui semboyan “cogito ergo sum” dimana kemampuan akal mereduksi kemampuan panca indra, sederhananya manusia sebagai makluk berfikir (rasional) yang menanggap alam sebagai sebuah mesin raksasa yang demikian rendah secara materi, dimana tidak ada tujuan, kehidupan atau roh dalam materi. Bahkan secara radikal, Descates memahami organisme (selain manusia) dalam alam semesta hanyalah materi, manusialah (akal) yang mampu mengendalikan alam semesta.(Keraf :2014:63)
Paradigma mekanistik yang kini menguasai sumber daya alam Halmahera, dengan menggunakan paradigma tersebut secara nyata telah mengalami pertentangan yang cukup hebat dengan lingkungan sosial masyarakat Halmahera, masyarakat justru melihat Halmahera cenderung holistik esensi dari alam bukanlah materi melainkan jiwa. Berbagai ritual yang dijadikan tembusan sebagai rasa syukur mereka terhadap alam telah menempatkan paradigma masyarakat Halmahera sebagai gaya paradigma yang di sebut Frijof Capra sebagai paradigma Sistemik, Organik, Holistik dan Ekologis.
Cara pandang Frijof Capra dengan melihat alam yang bersifat dinamis dimana alam merupakan sebuah keseluruhan yang tak terpisahkan dan bersifat dinamis dengan bagian-bagiannya terkait erat satu sama lain dan dapat dipahami hanya bagian dari proses menyeluruh. Capra menerangkan bahwa pemahaman terhadap alam mempunyai relasi antara manusia dengan alam, pola relasi semacam ini adalah relasi saling merawat, penuh kasih sayang, saling mengisi saling mendukung, saling menunjang kehidupan dan memungkinkan setiap organisme yang mendiami ekosistem tumbuh dan berkembang untuk hidup. (Keraf:2014:86)
Cara pandang Capra melalui paradigmanya sebenarnya telah dijadikan sebagai local wisdom masyarakat Halmahera secara turun temurun, dimana setiap organisme yang mendiami Halmahera menjalin simbiosis mutualisme secara alamiah.
Keanekaragaman hayati Halmahera menjadi magnet, pemicu ini ditandai dengan kedatangan naturalis Inggris, Albert Russel Wallacea yang menjadi Halmahera sebagai objek observasi spesies endemik, hasil dari penelitian Wallacea dalam hutan Halmahera kemudian tuangkan dalam makalah “On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” berisi ide teori seleksi alam kepada Charles Darwin di London, Inggris dengan bantuan kapal uap Belanda,pada Maret 1858. (Kompas edisi 09/09/19) Tidak berhenti, di dalam hutan Halmahera kemudian menjadi penanda spesies Semioptera wallaci/ bidadari Halmahera diperkenalkan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Bukan hanya bidadari Halmahera yang menjadi daya tarik, lebah raksasa Wallace dengan nama latin megachile pluto menarik Clay Bolt ahli fotografer sejarah alam, Ahli Entomologi Eli Wymen dan ahli ekologi prilaku Simon Robson serta ahli burung Glenn Chilton menjejak kaki di hutan Halmahera. Penemuan lebah raksasa wallacea tersebut mengeger dunia, sebab spesies yang ditemukan pertama kali oleh Wallacea pada tahun 1859 dianggap telah punah namun pada tahun 1981 peneliti Amerika Adam Catton Messer menemukannya di Maluku utara; Bacan, Halmahera dan Tidore.
Pasca penelitian Adam keyakinan kepunahan lebah raksasa tersebut menguat sebelum Clay Bolt dan kawan-kawannya kembali menemukan lebah raksasa tersebut. Namun letak penemuan tersebut tidak dijelaskan secara detail sebab menurut Robin Moore ahli biologi konservasi dari Global Wildlife Conservation menjelaskan sangat berisiko, sebab lebah raksasa tersebut akan memicu kolektor lebah untuk diburu. (Malut Post edisi 15/03/19)
Spesies semacam bidadari Halmahera dan lebah raksasa tersebut menjadi tantangan serius untuk melestarikannya, sebab tantangan terbesar Halmahera kini, adalah di hadapkan dengan persoalan pertambangan dan kelapa sawit yang membutuhkan luas area lahan ribuan hektar, hutan Halmahera yang menjadi rumah kedua spesies endemik dan spesies lainnya terancam, dari data Tempo puluhan industri tambang yang dianggap bermasalah mengancam kelestarian lingkuangan hidup, luas hutan untuk area eksploitasi diantaranya Halmahera utara luas konsensi pertambangan 22.864.76 hektar, Halmahera selatan 52.870.23 hektar, Halmahera Tengah 33.23170 hektar, Halmahera barat 13.242.40 hektar, luas hutan tersebut diperuntukkan untuk konsesi pertambangan tersebut cukup serius mengancam keanekaragaman hayati yang mendiami rimba Halmahera (Koran Tempo 07/10/19)
Halmahera yang sejatinya sebagai medium terjalinnya simbiosis mutualisme secara kultural telah melembaga, penting untuk membentuk tatanan masyarakat berkelanjutan (sustainable society) dalam sistem kehidupan, maka anggapan Frijof Capra untuk perubahan secara radikal dalam paradigma masyarakat maupun sistem kekuasaan untuk menjaga keselarasan dengan alam. Melalui metode ecoliteracy sebagai fase masyarakat modern dimana kesadaran terhadap lingkungan hidup merawat bumi, ekosistem dan berkembangnya kehidupan.
Ecoliteracy Capra sebagai prinsip-prinsip ekologi dalam menata dan membangun kehidupan bersama umat manusia di bumi untuk mewujudkan masyarakat berkelanjutan.
Frijof Capra mengkritisi kebijakan ekonomi dewasa ini yang mengabaikan aspek ekologis dengan mewujudkan proses mekanisme pasar bebas yang tidak memperhitungkan sisi alam, selaras dengan Capra, Paul Hawken menganggap “lembaga- lembaga komersial yang bangga terhadap prestasi, mereka tidak menyadari sistem kehidupan yang sehat, udara dan air yang bersih, tanah yang sehat, iklim yang stabil – adalah bagian dari integral bagi berfungsinya sebuah ekonomi” Capra pada satu kesempatan dengan tajam mengkritisi sistem ekonomi “bisnis kita mengambil sumber daya alam, mengubahnya menjadi produk sekaligus juga limbah, lalu kemudian menjual produk tadi kepada konsumen, yang membuang lebih banyak lagi limbah, pola produksi dan konsumsi haruslah dirancang secara organik, proses ini haruslah meniru alam;(Keraf:2014:134) Anggapan Hawken di atas demikian menjadi ilustrasi yang telah terjadi maupun yang akan menerjang Halmahera nantinya.
Halmahera demikian bukanlah ruang dominasi umat manusia, akan tetapi ruang dimana semua mahluk dapat hidup.(*)