Tidore – Langit Halmahera Tengah siang itu tampak mendung, seolah turut menyimpan duka bumi yang terluka oleh geliat industri tambang nikel. Di antara jalan-jalan yang berdebu, diapit pohon-pohon yang meranggas karena debu tambang, rombongan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tiba dengan wajah serius dan langkah penuh makna.
Di tengah rombongan itu, berdiri mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia periode 2011-2015, sekaligus tokoh hukum dan keadilan sosial, Busyro Muqoddas.

Kehadirannya di Maluku Utara selama 4 hari (28 Juni s/d 1 Juli 2025) bukan sekadar kunjungan seremonial. Bersama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Maluku Utara dan kader-kader muda Muhammadiyah, Busyro mengikuti rangkaian Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Nasional (PIKNAS) Muhammadiyah yang diadakan di kampus Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Kota Ternate.
Namun yang menjadikan kunjungan ini istimewa adalah misi moral ke Halmahera Tengah – melihat dari dekat bagaimana tambang nikel mengubah wajah kampung, mengoyak tatanan sosial, dan mencederai lingkungan hidup.
Siang itu, Busyro bersama rombongan menyusuri jalan menuju Halmahera Tengah, sebuah wilayah yang kini menjadi pusat industri nikel di Maluku Utara. Di sepanjang jalan, terlihat jelas ironi pembangunan; gedung-gedung perusahaan menjulang, sementara rumah-rumah warga lokal masih berdinding papan dan beratap seng tua.
Di satu titik, ketika memasuki kawasan industri, rombongan berhenti di sebuah sungai yang kini telah berubah warna kecoklatan, menjadi aliran endapan limbah tambang.
Salah satu warga lokal, Adlun Fikri, yang ikut bersama rombongan menjelaskan bahwa sungai tersebut dulunya sangat jernih dan biasa dimanfaatkan anak-anak untuk mandi, namun saat ini telah tercemar.
“Dulu air sungai ini jernih, anak-anak mandi disini. Sekarang, anak-anak sering gatal-gatal kalau mandi. Kami tidak tahu harus mengadu ke siapa,” ujar Adlun.

Busyro hanya terdiam sejenak, menatap sungai yang mengalir lambat dan berwarna kecoklatan. Lalu ia menengok ke arah langit yang mulai menurunkan rintik-rintik hujan, seakan mencari jawaban di balik awan kelabu.
Menggugat Pembangunan yang Tak Berkeadilan
Kurang lebih 4 jam menelusuri jalan yang berliku di jantung pulau Halmahera, rombongan akhirnya sampai di desa Sagea. Sebuah desa yang menjadi sentra perlawanan terhadap industri nikel di Halmahera.
Ketika sampai di Sagea, di sebuah rumah warga, digelar diskusi singkat antara warga, aktivis lingkungan, dan rombongan Muhammadiyah. Dengan disuguhi kelapa muda segar dan berbagai cemilan, masyarakat setempat dan rombongan PP Muhammadiyah juga menggelar forum terbuka.
Dari obrolan itulah terungkap berbagai persoalan: konflik lahan, pencemaran, relokasi paksa, hingga penurunan drastis pendapatan nelayan dan petani. Tak sedikit pula warga yang mengaku belum pernah diberi ruang suara dalam proses perizinan tambang yang berlangsung sejak perusahaan beroperasi.

“Proses pembangunan tambang ini tidak demokratis. Tidak ada partisipasi bermakna dari masyarakat adat. Apa yang terjadi di sini adalah bentuk kolonialisme baru atas nama investasi,” tegas Busyro dalam forum itu.
Sebagai tokoh yang dikenal tajam dalam mengkritik relasi kuasa antara pemerintah dan korporasi, Busyro menyebut bahwa praktik tambang di Halmahera Tengah adalah bentuk “ketimpangan struktural” yang harus dilawan secara kolektif dan sistematis. “Ini bukan hanya soal nikel dan uang. Ini tentang hak hidup, tentang keberlanjutan, tentang masa depan generasi kita,” katanya lantang.
Muhammadiyah dan Visi Ekologis
Kunjungan Busyro dan PP Muhammadiyah ke lokasi terdampak tambang menjadi bagian dari gerakan moral yang telah lama digaungkan organisasi ini: Islam Berkemajuan untuk Keadilan Sosial dan Ekologis. Dalam beberapa tahun terakhir, Muhammadiyah tidak hanya aktif dalam isu pendidikan dan kesehatan, tetapi juga secara tegas menyuarakan keprihatinan terhadap krisis ekologis, termasuk kerusakan hutan, pencemaran laut, dan konflik agraria.
Dalam PIKNAS yang digelar sehari sebelumnya di Ternate, tema keadilan ekologis dan keberlanjutan menjadi salah satu bahasan utama. Di hadapan puluhan kader Muhammadiyah, Busyro menekankan bahwa kepemimpinan dalam Muhammadiyah harus mampu merespons krisis iklim, pencemaran, dan kehilangan keanekaragaman hayati – dengan pendekatan yang berpihak pada rakyat kecil.

“Jangan hanya pintar berdakwah di masjid. Kader Muhammadiyah harus hadir di tengah petani yang digusur, nelayan yang kehilangan laut, dan anak-anak yang minum air beracun,” tegasnya disambut tepuk tangan.
Perjalanan Busyro Muqoddas ke Halmahera Tengah bukanlah kunjungan protokoler biasa. Itu adalah napak tilas nurani – sebuah usaha menghubungkan nilai-nilai Islam, keadilan sosial, dan hak asasi manusia dalam lanskap nyata yang luka.
Di tengah industri yang terus menggeliat, di atas tanah yang terus dibor, dan langit yang semakin kelabu, ada satu pesan yang tak bisa dihapus, “pembangunan yang mencederai kehidupan tidak bisa disebut kemajuan.”
Dan dari tanah yang luka itu, Muhammadiyah menunjukkan bahwa mereka tak hanya membangun sekolah dan rumah sakit, tetapi juga menjaga martabat manusia dan bumi yang menjadi pijakannya. Ini adalah kisah tentang tanah yang bersuara, tentang organisasi yang memilih berdiri bersama rakyat, dan tentang masa depan Indonesia yang harus dipertaruhkan untuk keadilan ekologis yang sejati.
Kunjungan itu mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi jejaknya terasa kuat. Di hati warga yang terdampak, di benak kader Muhammadiyah, dan di ruang publik yang mulai terbuka terhadap kritik terhadap industri ekstraktif.
Serangkaian kegiatan yang berlangsung di provinsi yang terkenal dengan sebutan rempah-rempah itu, diakhiri dengan pemberian kuliah umum di Universitas Bumi Hijrah (Unibrah) dengan mengangkat tema “Hilirisasi Nikel Halmahera: Antara Swasembada Energi dan Bencana Ekologi”.
Penulis: Arifin Muhammad Ade