Sesungguhnya kompleksitas ini harus benar-benar dibenahi, dimulai transparansi. Sebab rendahnya transparansi dalam pelaporan dan pengelolaan anggaran pembangunan menjadi tantangan besar. Banyak proyek yang tidak dilengkapi laporan yang mudah diakses oleh masyarakat maupun anggota DPRD, sehingga menghambat pengawasan. Selain itu, respons terhadap kritik yang disampaikan oleh masyarakat atau organisasi sipil sering lambat, dan pengawasan terhadap proyek sering kali tidak terkoordinasi dengan baik, mengakibatkan ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan.
Karena itu, DPRD sebagai wakil rakyat memiliki tugas untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, terutama di desa-desa pelosok. Meskipun reses merupakan sarana yang digunakan DPRD untuk mendengarkan keluhan, tantangan besar seperti keterbatasan akses, komunikasi yang buruk, dan ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan menghambat efektivitasnya. Desa-desa terpencil sering kali terisolasi dari pusat pemerintahan, membuat aspirasi rakyat sulit tersampaikan.
Dalam hal kebijakan, DPRD telah mengusulkan berbagai solusi terkait persoalan mendesak seperti listrik, pendidikan, dan infrastruktur jalan. Misalnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan perluasan jaringan listrik ke desa-desa terpencil. Untuk pendidikan, DPRD mengusulkan pembangunan sekolah baru dan pemberian insentif kepada guru. Sementara itu, perbaikan jalan rusak juga menjadi prioritas.
Namun, hubungan yang terlalu harmonis antara eksekutif dan legislatif bisa melemahkan fungsi kontrol DPRD. Kurangnya kritik terbuka terhadap kebijakan eksekutif dan pengawasan yang tidak terlihat dengan jelas menunjukkan bahwa DPRD seringkali kurang mempertanyakan keputusan pemerintah, terutama jika ada ketergantungan politik antara kedua lembaga.