Di Kecamatan Taliabu Timur Selatan, kondisi serupa juga dapat ditemukan pada jalan yang menghubungkan Desa Loseng dan Desa Kawadang, serta Desa Sofan dan Desa Kawadang. Keterbatasan akses ini jelas mempengaruhi perekonomian masyarakat setempat, karena mobilitas barang dan jasa yang terbatas akibat buruknya kondisi jalan. Selain itu, jalan yang menghubungkan Desa Balohang dan Desa Tolong di Kecamatan Lede, serta jalan penghubung Desa Kawalo dan Desa Holbota di Kecamatan Taliabu Barat, juga mengalami kerusakan yang serupa.
Selain itu, ketidakseriusan dalam pembangunan infrastruktur di Kabupaten Pulau Taliabu terlihat jelas dari sejumlah proyek jalan dan jembatan yang mangkrak meskipun sebagian besar dana telah dicairkan. Salah satu contohnya adalah proyek peningkatan jalan Nggele-Lede dengan nilai kontrak Rp 16,5 miliar, yang hanya mencapai 70% pencairan meski pekerjaan di lapangan terhenti. Begitu pula proyek peningkatan jalan Beringin-Nggele senilai Rp 6,6 miliar yang tidak menunjukkan hasil.
Selain itu, beberapa proyek besar lainnya, seperti pembangunan jalan Tabona-Peleng (Rp 7,03 miliar), Hai-Air Kalimat (Rp 7,7 miliar), dan Sofan-Loseng (Rp 18,9 miliar), juga mengalami stagnasi. Bahkan, proyek perbaikan jalan Lise dengan nilai kontrak Rp 1,6 miliar pun belum dapat diselesaikan.
Mangkraknya proyek-proyek ini mencerminkan kelemahan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, yang menghambat kemajuan infrastruktur dan memperburuk ketimpangan pembangunan di Taliabu. Pemerintah daerah perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki mekanisme pengelolaan proyek agar manfaat pembangunan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Di sektor pendidikan, berdasarkan data satuan induk pendidikan aktif, jumlah sekolah dasar (SD) mencapai 95 unit, sementara untuk tingkat SMP dan SMA masing-masing berjumlah 42 dan 24 unit. Meskipun jumlahnya cukup besar, banyak di antara sekolah-sekolah tersebut yang kondisinya jauh dari ideal, terutama terkait dengan infrastruktur dan kelengkapan fasilitas yang seharusnya mendukung proses pembelajaran.
Salah satu contoh adalah tidak selesainya pembangunan SMP Negeri 3 Satu Atap di Kecamatan Taliabu Barat. Ruang Kelas Baru (RKB) yang seharusnya menjadi ruang utama bagi siswa tidak diselesaikan dengan baik, bahkan proses pengadaan perabotan juga terhambat. Pembangunan gedung sekolah ini menggunakan anggaran sebesar Rp 928,8 juta yang bersumber dari APBD Tahun 2016. Sayangnya, proyek yang ditangani oleh CV Tarakan Jaya ini hingga kini belum rampung, meskipun dana telah banyak dicairkan. Kondisi ini memperburuk ketidaklayakan sekolah untuk digunakan sebagai tempat belajar yang layak.
Masalah serupa juga terjadi di SMP Negeri 2 Satu Atap di Kecamatan Taliabu Barat Laut. Pembangunan ruang kelas baru dan pengadaan perabotan yang bersumber dari anggaran DAK Tahun 2021, dengan kontrak kerja sebesar Rp 1,08 miliar, juga mengalami keterlambatan dan belum selesai dengan baik. Proyek ini ditangani oleh CV Nusa Utama Mandiri, namun hingga kini, bangunan yang dimaksud masih terbengkalai dan tidak dapat digunakan secara optimal. Masalah ini menurut hemat penulis tidak hanya mempengaruhi kenyamanan belajar siswa, tetapi juga menghalangi upaya meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang masih tertinggal ini.