Oleh:
Nurdin I, Muhammad (Wakil Dekan II FEB Unkhair/Direktur eLkasped Maluku Utara)
Sebuah diskusi publik yang bertemakan “Selayang pandang konsep Gugus Pulau DOB Makayoa Kepulauan” digelar secara online oleh Forum Koordinasi Daerah Pembentukan Kabupaten Makayoa Kepulauan, diskusi perdana ini mewacanakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Makayoa di Provinsi Maluku Utara kembali mengemuka dalam diskursus publik. Di saat adanya jeda kebijakan moratorium yang ditempuh oleh pemerintah pusat, mengalir aspirasi masyarakat di wilayah selatan Maluku Utara, ini adalah pengingat (notifikasi) masih tersisanya problem dalam pemerataan pembangunan dan minimnya akses terhadap layanan dasar di daerah kepulauan masih menjadi pekerjaan besar yang tertunda dalam tata kelola negara.
Dalam diskusi tersebut mengemuka bahwa keinginan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Makayoa Kepulauan di Maluku Utara adalah refleksi dari kebutuhan mendasar akan keadilan pembangunan bukan sekadar aspirasi yang bersifat administratif. Gugus pulau yang diberi akronim Makayoa (Makean-Kayoa) sejauh ini mengalami keterbatasan dalam pembangunan infrastruktur, akses terhadap layanan publik dan keterlibatan dalam penentuan kebijakan daerah. Kondisi geografis yang tersebar di kawasan pulau-pulau menyebabkan kawasan ini termarginalkan secara struktural dalam distribusi sumber-sumber pembangunan.
Fakta ini sebagai tanda gagalnya pendekatan otonomi daerah yang selama ini terlampau seragam. Implementasi dari konsep desentralisasi sejauh ini dilakasanakan dengan kecenderungan berorientasi pada daratan, sehingga logika konektifitas dan jarak rasanya tidak relevan untuk daerah kepulauan. Kesemuanya itu berakibat pada daerah kepulauan seperti Makayoa kerap menjadi terpinggirkan. Disparitas ini tidak sekadar angka statistik, melainkan dialami secara lansung oleh masyrakat yang terjelmakan dalam bentuk biaya transportasi antar pulau yang mahal, kualitas pendidikan yang masih rendah, demikian halnya dengan layanan kesehatan yang minim.
Pada tataran ini, DOB Makayoa Kepulauan menjadi urgen sebagai model koreksi terhadap implementasi desentralisasi yang abai dalam mengakomodir kompleksitasnya wilayah kepulauan. Bukan hanya tuntutan pemekaran an sich, lebih dari itu menjadi bagian dari pencarian formulasi yang memenuhi rasa keadilan dan efektifitas dalam tata kelola negara. Pada titik inilah desentralisasi asimetris sebagai sebuah konsensus bernegara menemukan jalan tengah yang relevan antara keberagaman geografis dan keseragaman regulasi.
Jalan Keluar
Secara konseptual, desentralisasi asimetris tidak lain adalah bentuk pelimpahan kewenangan yang tidak seragam kepada daerah, yang didasarkan pada karakteristik khusus yang dimiliki setiap wilayah. Sebagaimana dikemukakan oleh (Suksi, 2022), asimetri dalam konteks otonomi daerah tidak hanya sah dari aspek konstitusionalitasnya, akan tetapi juga diperlukan dalam mengakomodair kebutuhan khas lainnya seperti daerah perbatasan dan kepulauan, maupun adat istiadat yang hidup didalamnya. Dalam konteks ini, DOB Makayoa Kepulauan bisa pula menjadi pilot project dari implementasi desentralisasi asimetris dengan berbasis geografis.