Dan bahkan Google tidak tahu Tidore itu di mana

Abd. Wahab A.Rahim

Setidaknya, ada dua alasan saya menulis tulisan ini dengan judul seperti di atas. Pertama,  tentang pengalaman pribadi saya (atau mungkin orang Tidore lainnya). Ketika  berkenalan dengan orang-orang di luar Provinsi Maluku Utara, entah di kegiatan nasional ataupun di media sosial, “Nama saya Abdul, saya dari Tidore, Maluku Utara”. Orang-orang dengan percaya diri langsung menjawab: “Tidore? Di mana itu? Ambon? NTT? Papua?”, ketika mendengarkan pertanyaan itu sebenarnya saya sangat ingin menjawab: “pengetahuan anda sangat dangkal bestie, kan saya sudah bilang Maluku Utara”. Tapi tidak apa, mungkin mereka mencoba menebak dari dialek saya yang sangat kental ke-timuran-nya.

Kedua, tulisannya Galih Nugroho dengan judul “Wonosobo Butuh Sosok kayak Joko Pinurbo atau Pidi Baiq agar Romantisnya Abadi”, yang dimuat di Terminal Mojok pada tanggal 8 November 2021. Alasan kedua inilah yang membuat keluh kesah saya ini menjadi tulisan.

Setelah membaca tulisan Galih tersebut, yang mencoba menggambarkan bahwa Wonosobo dari aspek romantisme sebenarnya tidak kalah dengan Yogyakarta dan Bandung (kebetulan saya pernah sampai ke dua kota itu, semoga nanti bisa ke Wonosobo). Saya kemudian membayangkan kenapa Tidore tidak seterkenal Yogjakarta ataupun Sumatra Barat (Minang), kenapa Yogja dan Minang yang dijadikan perbandingan? karena Tidore mempunyai kontribusi besar untuk Indonesia seperti Yogja dan tradisi islam yang kental seperti tanah Minang.

Buktinya, Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soerkarno, pernah dua kali mengunjungi kota kecil ini, Perdana Menteri ke-lima Indonesia Muhammad Natsir pernah datang pidato di Tanah Adat Seatorang ini, tepatnya di lapangan Gurabati. Tidore (Soa-sio) juga merupakan Ibukota pertama Irian Barat (Papua-Papua Barat) yang Gubernur pertamanya adalah Zainal Abidin Syah yang juga merupakan Sultan Tidore dikala itu.

BACA JUGA   Pemilu 2024 dan Partisipasi Publik

Kisah heroik Tidore di masa lalu sebenarnya juga pernah diceritakan oleh Rizal Ramli di Indonesia Lawyers Club (ILC), yang mana ketika Sultan Tidore dikala itu diberikan tiga opsi oleh Soekarno, memilih bergabung dengan Indonesia, merdeka sebagai negara sendiri atau bergabung dengan Belanda, dengan lantang Sultan Tidore memilih untuk bergabung dengan Indonesia dan dari sisi kesultanannya Tidore pernah dicatat sebagai salah satu Kerajaan Islam terbesar di Indonesia.

Apakah itu tidak cukup untuk menjadi alasan harusnya Tidore juga bisa terkenal sekarang? Kalau begitu saya ceritakan sisi lainnya.

Tidore sendiri, juga punya tokoh yang terlibat dalam pergantian era dari otoritarianisme ke reformasi. Nuku Soleman namanya, yang ditahan oleh Presiden Soeharto karena diduga melakukan tindakan subversif, dengan berani mempelesetkan “SDSB” -sebutan untuk taruhan judi bola di tahun 90-an dengan kepanjangan Soeharto Dalang Segala Bencana. Sialnya, Nuku Soleman yang jarak rumahnya hanya seratus meter dari rumah keluarga saya, baru saya ketahui kisahnya ketika diceritakan oleh Rocky Gerung dan Refly Harun di channel youtubenya Refly Harun.

Tentang kehidupan Nuku Soleman juga ditulis oleh kerabat dan keluarganya setelah beliau meninggal, dengan judul Ragu-Ragu Pulang Saja, yang diterbitkan Pro DEM (Jaringan Aktivis Pro Demokrasi), tahun 2005.

Apa gerangan Tidore hilang dari percakapan tentang Ke-Indonesia-an akhir-akhir ini, secara sederhana saya bisa menjawab, mungkin waktu itu Tidore tidak mempunyai penulis seperti Buya Hamka dan Sultan Tidore ketika memilih bergabung dengan Indoneisa, tidak meminta kepada Presiden Soekarno untuk menjadikan Tidore sebagai daerah istimewa seperti yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubowono IX di Yogyakarta.

Jika yang saja jabarkan sebelumnya adalah Tidore di masa lalu, lantas apa yang bisa dibanggakan dari Tidore di masa sekarang? Tidore adalah kota kedua tersepi penduduknya setelah kota Subulussalam di Provinsi Aceh. Maka dapat saya katakan bahwa Tidore adalah sebaik-baiknya tempat healing, bukan sekedar sepi penduduknya tapi kalian akan merasakan sensasi ketenangan yang benar-benar tenang. Karena tren berlibur sudah bergeser dari tiga S (Sea, Sex dan Sun) ke perjalanan mencari ketenangan, maka Tidore adalah jawabannya. Belum lagi ada budaya spiritual yang sampai sekarang masih bisa dirasakan.

BACA JUGA   Menghijaukan Ekonomi

Saya selalu berharap agar Tidore tidak hanya diingat ketika tanggal tua, hanya karena gambar pulaunya dengan jelas terpampang di uang seribu berpasangan dengan Kapitan Pattimura yang memegang parang.
Sekian.

SYUKUR DOFU.