Cerita Seniman Ekuador, Berbagi Pengalaman dengan Pemuda Tidore

Tidore,- Sore yang mendung, suasana kota yang mulai lengang mendorong kami memacu sepeda motor lebih cepat. Pukul 15.00 dan kami tiba di halaman sebuah penginapan di Gamtufkange, Tidore, 21 November 2021.

Di lokasi, telah menunggu Ketua KNPI Kota Tidore, Ibnu Khaldun Turuy, ikut menjemput seorang teman asal Ekuador yang malam sebelumnya sudah kami hubungi. Selang beberapa menit, sang teman pun turun, setelah saling bersalaman dan bertanya kabar kami mulai bergerak. Pukul 15.30 WIT kami tiba di Kelurahan Topo  setelah menyusuri jalan menanjak kurang lebih 3 km.

Cristina Duque bersama Bung Yonker, Ketua KNPI Tidore

Cristina Alexandra Duque Martinez, teman kami, perempuan asal Ekuador yang saat ini tengah menyelesaikan kuliah pascasarjana Bidang Cipta Tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kedatangannya adalah untuk mempelajari budaya dan seni tradisi di Tidore.

Di tengah kesibukannya, atas permintaan kami, Cristina bersedia berbagi pengalaman dengan para pemuda di Topo, yang kebetulan sore itu sedang menggelar diskusi ekofeminisme. Meskipun baru sekitar 2 tahun tinggal di Indonesia, kemampuan bahasa Indonesia-nya ternyata sudah begitu baik. Kemampuan yang membuatnya turut aktif membahas tema diskusi tersebut.

Foto bersama usai diskusi ekofeminisme di Topo, Tidore

“Saya baru dua tahun tinggal di Indonesia, mohon maaf kalau ada salah dalam ucapan, saya masih belajar bahasa Indonesia,” ucap perempuan kelahiran Quito Ekuador tersebut.

Hujan mulai turun, cuaca kian dingin, namun diskusi semakin hangat. Penuh semangat, Cristina menceritakan bagaimana perempuan-perempuan di Ekuador berjuang melawan kapitalisme, para peserta yang hadir terlihat antusias. Sebagian ibu-ibu tampak tersenyum jenaka mendengar dialek Cristina saat berbahasa Indonesia.

The Ashes Of The Moon, salah satu tarian karya Cristina

Memiliki gelar sarjana bidang Pendidikan Seni dari kampusnya di Ekuador, Cristina terlihat sangat memahami sejarah kebudayaaan dan tradisi masyarakat Ekuador. Menurutnya, pikiran ekofeminisme sudah seperti tradisi bagi masyarakat Ekuador, terlebih sejumlah suku disana hingga saat ini masih menganut azas matriarki, tidak jarang para perempuan tampil menjadi pemimpin suku di sana.

BACA JUGA   Mengungkap Fakta D'facto, Sang Rapper Tidore

Seusai diskusi bersama para pemuda di Topo, perjalanan kami lanjutkan ke Benteng Tahula. Cristina bercerita, kedatangannya ke Tidore karena mengikuti sebuah program penelitian, kerjasama antara ISI dengan Eko Dance Company, sebuah lembaga pengembangan seni tari yang digawangi Eko Supriyanto, seorang seniman tari yang cukup terkenal.

Cristina dan rekan-rekannya sesama seniman tari di Quito

“Saya di Tidore sejak hari kamis, saya ke Indonesia karena ingin belajar ilmu kesenian, khususnya seni tari, selain itu saya juga ingin mempelajari kehidupan masyarakat disini,” ujar Cristina sambil meneguk kopi yang kami sediakan.

Kecintaan Cristina akan seni tari mengantarnya sampai ke Tidore. Ia begitu terpikat dengan keindahan alam dan budaya Tidore. Beberapa hari berada di Tidore, ia sempat menonton proses latihan para penari di salah satu sekolah di Tidore. Gerakan-gerakan tarian khas Tidore menurutnya sakral dan penuh dengan makna.

Cristina saat menampilkan tarian adat Jawa

Secara akademis, Cristina mengaku menyukai koreo dari tarian Tidore yang ia amati. Namun secara personal ia justru lebih tertarik pada makna filosofis dan inspirasi yang melahirkan gerakan-gerakan tari tersebut.

“Indonesia sangat kaya, punya banyak budaya yang berbeda-beda, sangat menyenangkan bisa tinggal di Indonesia,” ungkapnya.

Di negara asalnya, Cristina adalah seorang penari profesional, ia pernah beberapa kali tampil mementaskan tarian kontemporer hasil kreasinya.  Kini, sejak tinggal di Yogya, ia mengaku jatuh cinta dengan kekayaan budaya Indonesia yang beraneka ragam, khususnya pada tarian tradisional. Selain menari, Cristina juga seorang pemain teater yang handal, ia pernah terlibat dalam beberapa pementasan teater baik di Indonesia, maupun di Ekuador

Berpose di benteng Tahula

Diskusi soal seni tari tradisional kemudian berkembang ke soal kolonialisme. Kami pun bertukar cerita tentang sejarah kolonialisme Bangsa Eropa, khususnya Spanyol. Sebagai seorang Ekuador yang notabene adalah wilayah koloni Spanyol di  masa lalu, Cristina menceritakan bagaimana proses spanyol menaklukan nenek moyangnya dari suku Inca di Amerika Selatan. Sejarah yang kami sama-sama sepakati sebagai Genosida.

BACA JUGA   Kreativitas Aison, Founder Syukurdofu Indonesia

Meskipun lahir sebagai seorang keturunan Spanyol, ia tampaknya tidak segan-segan menceritakan sejarah kolonialisme di Amerika Selatan. Terutama cerita tentang perjalanan revolusi Ernesto ‘Che’ Guevara, tokoh yang sama-sama kami idolai.

Hari semakin malam, suara azan terdengar membahana dari berbagai penjuru, kami pun bergegas meninggalkan benteng Tahula dan segenap kisah kolonialisme masa lalu, kemudian mengantar Cristina kembali ke penginapan.

Nos vemos amiga!

Reporter : Mw

Editor : Redaksi