Tidore,- Pasar Gosalaha sore itu tidak terlalu ramai, kurang lebih pukul 15.30 saat kami tiba disana. Situasi pasar yang biasanya penuh hiruk pikuk, semakin sore tampak semakin lengang. Rabu, 2 Juni 2021.
Agenda sore itu adalah mewawancarai Om Let, ahli reparasi sepatu yang cukup terkenal di Tidore. Letnan Tuanan, nama lengkap pria 65 tahun tersebut. Sudah sejak 1975 Om Let menggeluti bisnis reparasi sepatu. Jauh sebelum istilah ekonomi kreatif mencuat, kreativitas Om Let sudah dikenal warga Tidore.
Kepada Sentranews.id Om Let bercerita, bahwa setiap harinya, ia mampu mereparasi puluhan pasang sepatu dan sendal. Sejak buka pukul 09.00 hingga tutup pukul 18.00 WIT. Ia mengaku, kemampuan memperbaiki sepatu sudah dimilikinya sejak kecil. Keahlian tersebut ia peroleh secara autodidak.
“Saya bukan belajar manjai, ini bakat alam. Saya mulai manjai tahun 1975, itu tau jahit bukan karna balajar tapi bakat alam, lia langsung bikin,” tuturnya.
Om Let berkisah, dahulu semasa remaja, sejak usia 13 tahun, ia telah mengembangkan bisnis tambal ban dan reparasi sepatu. Ketika itu lapaknya berdekatan dengan kantor bupati Halmahera Tengah di kawasan Kota Mabopo. Saat itu harga tambal ban sepeda masih Rp.25, sedangkan harga reparasi sepatu atau sendal berkisar Rp. 250.
“Jadi waktu manjai di kantor daerah yang lama itu, saya pe rumah dulu sabala Eva, manjai itu dia pe harga 250, tambal ban sepeda ini masih 25 rupiah. tong karja manual dulu to, so sambil manjai sudah,” kenangnya.
Ia melanjutkan, sekitar tahun 1976, ia dan orang tuanya berpindah mukim dari Seli ke Tomagoba. Sejak saat itu dan hingga kini tinggal dan menetap di Gamtufkange, belum sekalipun ia menerima bantuan dari pemerintah daerah. Baik di masa Kabupaten Halmahera Tengah, maupun kini saat Tidore telah menjadi kota madya.
“Saya deng sebe, tong kabawah di Tomagoba itu tahun 1976, sampe hari tadi ini, pemerintah bolom pernah bilang Om Let, ngana ambel doi 100 Juta ini ngana biking modal. Belum pernah, itu masih zaman Tidore masih deng Halteng sampe so jadi kota, janji tinggal janji,” kisahnya.
Om Let mengungkapkan, sebelumnya ia melapak di pasar Sarimalaha, sampai kemudian terjadi kebakaran dan direlokasi ke pasar baru Gosalaha. Kurang lebih 12 tahun sejak kebakaran itu terjadi. Ia telah menghabiskan 5 buah ban Loader berukuran besar, untuk dijadikan bahan baku reparasi sepatu maupun untuk keperluan lainnya, itu pun ia kerjakan secara manual dengan alat seadanya.

Ia mengaku pernah mengajukan proposal bantuan kepada pemerintah, namun tak kunjung mendapat jawaban. Padahal jikalau bantuan tersebut direalisasi, akan terasa sangat membantu usahanya. Adapun untuk harga reparasi sendiri, Om Let memasang tarif tergantung tingkat kerusakannya, yaitu berkisar antara Rp 80.000 hingga Rp. 100.000 untuk ganti sol dan yang kerusakannya parah, sedangkan untuk kerusakan ringan, ongkos reparasinya lebih murah.
“Dulu saya pe tampa lama di pasar Sarimalaha yang angus, trus pindah kamari disini so 12 tahun ini. Jadi saya so potong ban besar, ban loader itu so 5 buah, saya bikin dia (sepatu/sandal) pe alas ban, jadi saya bikin dia pe harga mahal karna manual. Jadi saya pesan itu mesin 3, mesin pres ban, mesin potong ban dan mesin kupas ban, ternyata dong (pemda) bilang trada doi,” jelasnya.
Om Let meneruskan, bahwa di tahun 1991, ia pernah mengajukan proposal melalui pameran karang taruna yang pada saat itu diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kab. Halmahera Tengah. Kemudian di tahun 2006, ia juga pernah mengajukan proposal bantuan melalui Dinas Perindagkop, namun tidak juga menemukan titik terang.
“Waktu pameran karang taruna 1991 itu saya kase masuk saya pe proposal itu, ternyata kalao kadara dia deng doi deng kawan-kawan so trada samua, tahun 2006, di Perindustrian bikin proposal lagi, dorang bilang 95 juta, tapi dia (dana) kaluar dorang kase dong pe orang di Payahe dara,” ungkapnya.
Menurutnya, selama ini pemerintah belum benar-benar memperhatikan warganya dan justru seringkali malah menyulitkan, khususnya kepada para pelapak di pasar.
“Jadi bagi saya, selama pemerintah tra pernah kase istimewa masyarakat ini, kase susah justru. Ngoni bongkar tong pe tampa, tong biking disana ngoni bilang jang bikin disini tapi disitu. Setelah tong bikin, ngoni bongkar lagi,” papar Om Let.
Mengenai mekanisme pembayaran, Om Let menjelaskan, bahwa dahulu pembayaran dilakukan setelah selesai pekerjaan. Namun karena khawatir terjadi penumpukan, akibat banyaknya pekerjaan dan untuk menghindari orderan yang lupa diambil oleh konsumen. Ia pun merubah model transaksinya, yaitu dengan bayar di muka.
“Tong manjai baru-baru itu 6 tas ada 60 pasang, jadi sekarang tong pe aturan bayar dulu baru manjai, kalo bolom bayar tong bolom manjai,” jelasnya.
Adapun mengenai lapak usahanya yang kurang lebih berukuran 2 x 1,5 meter tersebut. Om let mengaku dikenakan biaya retribusi dari pemerintah sebesar Rp. 35.000 perbulan. Terdiri atas sewa lapak Rp. 25.000 dan iuran sampah Rp.10.000.
“Lokasi (lapak) ini 35.000 satu bulan, yang sadiki ini 2 meter ini 25.000, nanti sampah disana bayar 10.000,” ungkapnya.
Sehari-hari, selama kurang lebih 46 tahun, Om Let mengerjakan sendiri orderan yang masuk. Terkadang ia dibantu oleh anaknya, jika orderan yang datang lumayan banyak. Bila dihitung, mungkin sudah ribuan pasang sepatu pernah dikerjakannya.

Selain reparasi sepatu, Om Let juga bercerita seringkali menerima order dengan bayaran yang cukup fantastis. Misalnya orderan membuat ayunan, karet kanvas roda gila, karet mesin pres batu bata, hingga karet untuk mesin kapal motor fiber dan masih banyak orderan lainnya.
Nasehat sang ayah nampaknya merupakan petuah yang terus Om Let pegang dalam hidupnya, bahwa profesi yang digelutinya kini, ibarat berkebun di dalam kota. Ia menuturkan, selama ini ia tidak pernah merasa susah, sebab apa yang dicapai dan yang kini dimiliki, baginya sudah sempurna.
“Kalo bagi saya, saya tra pernah rasa susah. Saya pe sebe pernah bilang, berkebun didalam kota itu seperti ini. Katong mancari bakuda di kabong dara, ini so tra bakuda lagi. Tinggal kamari orang kasih ya tong manjai. Jadi saya rasa saya tra susah, mo susah bagaimana tong pe diri ini so lengkap, kaki deng tangan sempurna,” tuturnya.
Om Let mengaku sudah tidak banyak berharap pada bantuan pemerintah. Namun jika pemerintah mau memberikan bantuan kepadanya atau kepada yang lain secara cuma-cuma, tanpa menuntut imbalan tertentu, maka ia dengan senang hati akan menerimanya.
“Saya ini kalo pemerintah janji itu so trada harapan sudah. Saya kalo pemerintah atau DPR kase bantuan cuma-cuma itu saya siap. Kalo pemerintah kase bantuan lewat proposal itu, lewat bayar itu saya so tra mau,” tutupnya.
Diskusi seru penuh canda tentang pengalaman hidup Om Let yang menarik, terpaksa harus kami sudahi. Hari kian sore dan kami pun berpamit pulang. Kisah ketekunan dan dedikasi Om Let rasanya sulit untuk tidak diabadikan.
Reporter : Aalbanjar
Editor : Redaksi