Bukan “Apa yang Mau Diselamatkan?” Namun Apa yang Harus Diselamatkan!

Oleh:

Muhammad Wildan (Inisiator Milenial Projou)

Pertanyaan tentang apa yang mau diselamatkan di Maluku Utara, seringkali muncul dalam diskursus jelang Pilgub Maluku Utara 2024. Mengapa demikian? Karena salah satu kandidat yang kini menjadi bakal calon gubernur adalah Sultan Tidore, Husain Alting Sjah, yang aktif mengampanyekan tagline “Selamatkan Maluku Utara.”

Apa yang mau diselamatkan? Apa bisa seorang sultan menyelamatkan Maluku Utara? Mengapa sultan? Apakah menyelamatkan Maluku Utara adalah sebuah urgensi? Ataukah tagline ini menunjukkan arogansi seorang sultan? Teramat banyak pertanyaan di benak publik yang perlu kita dalami.

Lantas, apa yang mau diselamatkan di Maluku Utara? Pertanyaan ini muncul seolah keadaan daerah ini baik-baik saja. Jika pertanyaan ini lahir dari seorang awam, maka ia akan menjadi pertanyaan biasa saja. Namun jika pertanyaan ini muncul dari seorang intelektual. Maka sepertinya sang intelektual harus kembali membaca hasil riset tentang kondisi Maluku Utara, juga membaca liputan-liputan terbitan media arus utama.

Hasil riset BRIN yang dipublikasi oleh sejumlah media beberapa waktu lalu, tentang pulau-pulau yang dijual. Maluku Utara bersama Jakarta menjadi daerah yang paling banyak terjual pulaunya. Jika kembali pada pertanyaan awal, maka jawabannya adalah selamatkan pulau-pulau kita agar tidak habis dijual.

Juga, jika merujuk hasil riset bersama, FOSHAL dan sejumlah NGO beberapa bulan lalu, yang menemukan bahwa program hilirisasi nikel, ternyata menyeret masyarakat makin dalam ke jurang kemiskinan. Maka jawaban dari pertanyaan apa yang mau diselamatkan? Adalah selamatkan rakyat dari kemiskinan ektrim, khususnya di kawasan lingkar tambang.

Selain itu, jika merujuk pada pemberitaan media terkait kasus yang menyandera mantan gubernur, yang kini sidangnya serial di pengadilan dan semakin dramatis dari hari ke hari. Maka jawaban dari pertanyaan awal tadi adalah, “Selamatkan Maluku Utara” dari perilaku elite yang Koruptif.

BACA JUGA   DPD 'bukan' Dewan Perwakilan Daerah

Dan, jika melihat liputan media akhir-akhir ini yang banyak memuat kasus pencabulan dan pelecehan seksual, bahkan terhadap anak-anak. Maka jawabannya adalah “Selamatkan Maluku Utara” dari perilaku amoral dan dari para predator seksual.

Atau, jika merujuk pemberitaan media beberapa waktu lalu tentang sejumlah ASN Maluku Utara yang digrebek BNN di Jakarta, karena penyalahgunaan Narkoba, maka jawaban dari apa yang mau diselamatkan di Maluku Utara, adalah selamatkan generasi dari cengkeraman Narkoba.

Dan, jika melihat kondisi Halmahera saat ini yang sedang direndam banjir, maka jawaban dari pertanyaan itu adalah “Selamatkan Maluku Utara” dari eksploitasi yang berlebihan. Eksploitasi yang menghimpit ruang hidup suku Tobelo Dalam dan habitat Burung Bidadari.

Teramat banyak persoalan di Maluku Utara yang tentu jika kita sajikan satu persatu, maka pertanyaan mengenai apa urgensi “Selamatkan Maluku Utara,” sepertinya akan kehilangan urgensi.

Lantas, mengapa sultan? Apa seorang sultan bisa menyelamatkan Maluku Utara? Apakah dengan mengusung tagline Selamatkan Maluku Utara, menunjukkan arogansi seorang sultan? Untuk menjawabnya, sepertinya kita harus kembali mengais lembaran-lembaran sejarah.