Pertanyaan kali ini, adalah mengapa harus di ruang tamu?

Antropolog seperti R.Z. Leirissa pernah menganalisis soal penggunaan ruang dalam ritual masyarakat Indonesia, lewat karyanya “Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan di Laut Maluku” tepatnya pada halaman 28-35 ia menggambarkan interaksi antara struktur formal dan kepercayaan lokal. Meskipun Richard menulis karyanya dalam konteks sosial politik, ia seringkali mengaitkannya dengan kepercayaan lokal yang mendasari lahirnya tindakan kolektif. Dengan begitu, maka kita dapat memahami juga sebuah tindakan kolektif, bahwa ruang tamu adalah area semi-publik di dalam sebuah rumah, ia menyimpan nilai sosial dan spritual. Jika ditelaah, maka ‘Ruang Tamu’ adalah tepi batas antara dunia luar dan dunia dalam (privat/keluarga).

Maka meletakkan segelas Air di atas meja di ruang tamu, adalah gestur keramahtamahan, kalau dalam bahasa Antropologi, ini disebut ‘Hospitalitas’. Menyuguhkan Air, sama saja dengan cara kita menghormati sesama manusia atau lebih luas dalam kosmologi kita. Itu artinya Air adalah ‘batas’ yang berfungsi sebagai ‘pagar gaib’ (dalam folk term), menyambut yang baik dan menetralisir yang negatif, menciptakan sebuah kondisi rumah yang tenang dan damai sehingga setiap penghuni rumah merasakan suatu kehadiran yang mampu mengontrol emosi dan meluapkan kegembiraan.

Akhirnya, kita akan menyadari, bahwa tradisi meletakkan segelas Air di malam Jumat di ‘Ruang Tamu’ bukanlah sebuah tindakan mistis tanpa makna. Sebaliknya, ia adalah sebuat pernyataan kosmologi masyarakat yang mewujud secara ekologis (memahami sentralitas Air), Sosial (menjaga harmoni dalam semua hubungan dengan semesta), dan ‘Ketegasan Budaya’ (suatu akulturasi antara Islam dan kepercayaan lokal yang telah ada sejak berabad-abad lalu).

Segelas Air yang hening di atas meja itu, adalah cerminan dari sebuah pandangan dunia yang kompleks, sebuah dialog tanpa kata antara manusia, Tuhan dan alam semesta.

BACA JUGA   PEMILU, HARAPAN DAN KEMERDEKAAN!