Oleh:
Mochdar Soleman (Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan, Sekjen GP Nuku)
Sungai yang Mati, Demokrasi yang Terkunci
Kali Sangaji di Desa Wailukum, Maba, Halmahera Timur, pernah menjadi sumber air yang menopang kehidupan warga. Kini, airnya keruh, berbau lumpur, dan penuh sedimen.
Mengutip rilis cermat.co.id tentang Warga Desa Maba Sangaji, Ikmal Yasir yang mengungkapkan, pencemaran tersebut tak separah yang sering dilihat warga selama ini. “Kali ini sangat parah. Torang (kami) kaget lihat (kondisi perairan), ah, bagaimana so begini, parah sekali, tara (tidak) seperti biasanya, oe lumpur tebal sekali,”
Fenomena keruhnya Kali Sangaji di Halmahera Timur menandai gejala “kematian” sungai secara ekologis. Air yang dulunya jernih kini tak lagi layak untuk kebutuhan dasar warga akibat pencemaran sedimentasi berat dari aktivitas pertambangan nikel.
Dalam perspektif politik lingkungan, degradasi ini bukan semata masalah teknis, tetapi hasil dari kompromi struktural antara korporasi dan aktor lokal yang memfasilitasi perizinan serta menutup mata terhadap pelanggaran.
Kita bisa melihat bagaimana hasil temuan Direktorat Jenderal Gakkum KLHK yang dengan jelas mengonfirmasi pelanggaran serius oleh PT Position dengan tindakan menambang di luar izin, tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), dan beroperasi di kawasan hutan lindung. Pelanggaran ini bukan sekadar cacat administratif, melainkan pelanggaran struktural terhadap hak ekologis masyarakat (baca: Malut Terkini dan Riausatu)
Namun, alih-alih menghentikan operasi tambang dan memulihkan lingkungan, aparat justru menetapkan 11 warga adat Maba Sangaji sebagai tersangka dengan tuduhan “premanisme” karena menolak tambang ( lihat:Mongabay). Di mata hukum yang bias, mempertahankan air dan hutan berubah menjadi kejahatan.
Hilangnya fungsi ekologis sungai berarti hilangnya hak warga atas air bersih, sementara korporasi terus diuntungkan. Kematian sungai adalah kematian ruang hidup, dan itu adalah tragedi politik sekaligus ekologis.
Kriminalisasi dan Alih Fungsi Negara
Demonstrasi mahasiswa di Mabes Polri yang menuntut pembebasan warga dan penutupan tambang (baca: jpnn, dan beritasatu) justru mempertegas jurang antara negara dan rakyatnya.
Fakta menunjukkan bahwa persoalan Maba–Sangaji menunjukkan pola selektifitas hukum dan alih fungsi negara yang bukan sebuah keganjalan administratif semata, melainkan strategi proteksi investasi yang mengorbankan hak ekologi dan hak asasi masyarakat adat.
Aparat yang semestinya menjadi pelindung berubah menjadi instrumen represi, mengamankan investasi atas nama stabilitas, dan menekan resistensi warga.
Dalam teori politik ekologi, ini disebut accumulation by dispossession akumulasi modal melalui perampasan ruang hidup. Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, berfungsi sebagai fasilitator alih fungsi ekosistem demi kepentingan modal.
Hal ini terlihat jelas dengan adanya proses hukum yang dijadikan senjata untuk merampas ruang hidup dan sumber daya, lalu menyerahkannya kepada segelintir elite.