Jakarta – Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Nasional menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Politik Anggaran di Indonesia: Antara Desentralisasi Fiskal dan Kepentingan Politik Lokal,” di Exhibition Room Universitas Nasional pada Rabu (30/7).
Kegiatan tersebut menghadirkan tiga narasumber utama, yakni Gulfino Guevarrato, S.H. (Seknas FITRA); Dr. Mohammad Abdul Mukhyi, SE., MM., C.SMT.(Praktisi dan Akademisi Ekonomi); serta Mochdar Soleman, S.IP., M.Si. (Dosen Ilmu Politik UNAS), dimoderatori oleh dosen muda FISIP UNAS.
Sekertaris Program Studi Ilmu Politik, Rahmat Sufajar, S.IP., M.Si, dalam sambutannya menegaskan seminar tersebut merupakan bagian dari pengembangan kurikulum berbasis isu aktual dan bertujuan meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap praktek politik anggaran di era otonomi daerah.
Aktivis Seknas FITRA, Gulfino mengungkapkan fakta lapangan penyusunan APBD kerap kali dijadikan sebagai alat transaksi politik melalui melanisme informal seperti pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD.

“APBD hari ini bukan sekedar soal fiskal, tapi juga soal siapa yang paling kuat secara politik,” ungkap Gulfino.
Ia juga memaparkan skema penyalahgunaan APBD mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan.
Sementara itu, Dr. Mukhyi menyoroti lemahnya responsivitas fiskal di daerah akibat minimnya integrasi sistem dan kapasitas SDM.
“Kita butuh mekanisme anggaran yang responsif dan efektif, bukan sekedar formalitas tahunan,” ujarnya.
Ia mendorong penguatan Musrenbang, pemanfaatan Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD), serta penerapan evidence-based budgeting sebagai solusi teknokratis.
Dari perspektif politik, Mochdar Soleman menegaskan politik anggaran adalah refleksi dari konfigurasi kekuasaan lokal.
“Selama sistem politik daerah masih dikuasai oleh elite dan oligarki, maka anggaran akan cenderung berpihak pada kekuatan dominan, bukan pada kepentingan masyarakat luas,” ujarnya.
“Politik anggaran kota belum berpihak kepada yang lemah, ia berpihak pada siapa yang punya suara, uang, dan jaringan kekuasaan,” lanjut Mochdar.
Hasil diskusi tersebut merumuskan sejumlah rekomendasi kebijakan, antara lain:
1. Reformasi sistem Pokir DPRD agar berbasis data dan partisipasi publik yang transparan;
2. Penerbitan Peraturan Daerah (Perda) Partisipatif tentang Transparansi dan Keadilan Anggaran yang melibatkan kelompok marjinal;
3. Penguatan Musrenbang Tematik untuk menjawab kebutuhan perempuan, penyandang disabilitas, dan komunitas miskin kota;
4. Optimalisasi SIPD; dengan integrasi perencanaan jangka panjang dan belanja aktual berbasis kinerja;
5. Penyusunan Dana Respons Darurat Daerah (DRDD) untuk menghadapi krisis iklim, kesehatan, dan sosial ekonomi; serta
6. Integrasi APBD dengan agenda pembangunan hijau dan energi terbarukan, sepertu pengadaan PLTS atap, kendaraan listrik dinas, dan pembangkit lokal berbasis masyarakat.