Oleh:  Ibnu Furqan S.Hum (Aktivis)

Masih segar dalam ingatan sebuah lanscap masa kecil saya, ada sebuah kebiasaan atau bisa disebut sebagai sebuah rutinitas hening di senja malam hari Kamis. ‘Mama’ sapaan akrab saya pada sosok seorang Ibu, dengan suara lembut tetapi tegas, selalu meminta untuk menjalankan sebuah tugas yang terasa sakral, yaitu: Meletakkan segelas Air putih di tengah meja kayu agak sedikit ke arah Barat di ruang tamu kami. Saya sadari sebagai anak kecil yang masih dibentuk oleh perintah dan kepatuhan, tindakan semacam itu adalah sebuah dogma. Saya juga tidak pernah bertanya “mengapa?”, “Bagaimana?”. Menurut saya Gelas itu harus berada di sana sebelum langit menjadi malam sepenuhnya. Seusai Shalat Magrib saya kembali ke rumah memandang Gelas itu untuk beberapa saat, terasa Gelas itu berdiri di antara kesunyian, memantulkan cahaya lampu tepat berada di atasnya.

Ketidaktahuan saya itu mulai tersibak ketika saya keluar di halaman rumah tak sengaja mata saya menangkap sebuah pola yang berulang, di rumah tetangga, di seberang jalan hingga ke ujung gang kampung kami, pemandangan serupa tersaji, di mana segelas Air putih harus benar-benar berada di sana—disebuah ruangan tamu yang memiliki meja. Saya merasa ada sebuah kesepakatan tak tertulis sebuah tindakan komunal yang mengatur setiap rumah memiliki pola yang sama dan di waktu yang sama pula. Kini, saya memandang praktik tersebut bukan sekadar kebiasaan atau rutinitas semu, tapi sebuah pernyataan kebudayaan yang kaya makna, ia (Air) adalah sebuah ‘artefak simbolis’ tentang sebuah hubungan kosmologis yang tak terelakan.

Sebuah tradisi akan menggambarkan perasaan manusia dalam kehidupan, ekspresinya adalah sebuah pernyataan kebudayaan bukan sekadar ritual tanpa makna. Clifford Geertz, dalam “The Interpretation of Cultures”, menyatakan bahwa kebudayaan adalah “jaringan-jaringan makna” (webs of significance) yang dipintal oleh manusia itu sendiri. oleh karena itulah setiap tradisi bukan ceremonial tapi sebuah teks budaya yang memuat goresan-goresan makna, nilai, norma dan gambaran kehidupan ideal manusia. Nilai dan makna dari sebuah tradisi, juga dapat dilihat pada ritual segelas Air putih di atas meja bagi orang Maluku Utara—tidak semua wilayah—yang meletakkan setiap malam Jumat.

BACA JUGA   Tampil Kasual dengan Jaket Denim di Debat Pertama, Erwin-Zulkifli Usung Visi Ternate Kota Dunia

Mungkin saja bagi orang luar, ini hanyalah sebuah kebiasaan takhayul dan tanpa makna. Namun dalam pandangan antropologi ini adalah pernyataan “teks budaya”, mengungkapkan hubungan kosmologi secara ritualistik, kehidupan sosial dan bagaimana cara pandang masyarakat tentang dunia yang mereka huni. Dalam kajian mendalam kita akan dapati sebuah pemahaman tentang Air yang bukan sekadar Air, tetapi simbolisme, konsep ruang dan juga waktu sakral sebuah tradisi, menciptakan sebuah keadaan sosial-psikologis yang sarat nilai. Inilah yang ingin saya jelaskan kepada kita semua.

“Air” secara konsep, adalah medium paling penting bagi manusia, entah untuk kesucian atau untuk sebuah proses pemurnian. Dalam lokalitas, kita akan menemukan kosmologi ritualistik dari Air, sebagian masyarakat Maluku Utara percaya bahwa Air dapat menghubungkan berbagai alam, yang kasat maupun yang abstraksi, di balik sifatnya yang netral ada kekuatan untuk menyerap dan menyalurkan sebuah energi pada seseorang atau makhluk hidup yang lain. Tidak heran, berbagai ritual ke-Adat-an di Maluku Utara tidak bisa meniadakan Air sebagai kelengkapannya.