Oleh:
Ibnu Furqan S.Hum (Aktivis)
Maluku Utara bukan tanah kosong. Dia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam melimpah, suatu negeri yang banyak mengundang mafia ekologis untuk mengeruk habis kekayaan dan meninggalkan luka dan jeritan. Akhir-akhir ini kita menyaksikan secara langsung bencana ekologi menimpa negeri ini. Setidaknya dalam publikasi BNPB tentang data bencana Indonesia, Maluku Utara sepanjang tahun 2025, mulai dari 1 Januari hingga 22 Juni ada sekitar 26 kasus Banjir melanda negeri ini. Lantas pertanyaannya, bagaimana banjir-banjir itu datang? Apakah banjir itu alami, ataukah sebuah proses kausalitas? Inilah yang harus dijawab oleh kita semua.
Banjir yang sampai ke hilir sungai seolah bersamanya ada jeritan yang begitu nyaring terdengar. Jeritan itu adalah suara air sungai yang terlanjur menjadi pekat dan keruh, anda bisa bayangkan, bagaimana tangisan para nelayan yang pada mulanya memasang jaring untuk menangkap Ikan, tapi kemudian hilang terbawa banjir di hilir sungai, atau keluhan petani yang sawahnya terendam lumpur akibat banjir. Ini alarm dan peringatan darurat yang sedang kita abaikan secara kolektif, sebuah notifikasi bencana ekologis dan sosial yang notabene kita ciptakan sendiri.
Banjir yang terjadi di beberapa Kabupaten/Kota di Maluku Utara adalah sebuah tragedi kausalitas yang sempurna bukanlah kejadian alami. Kenyataan yang tengah kita hadapi, bahwa di hulu, hutan-hutan lebat di lereng gunung, yang juga sebagai benteng terakhir, dibabat habis atas nama pembangunan. Pohon yang akarnya menghujam ke tanah telah digantikan oleh alat berat yang menggaruk habis perut bumi demi apa yang kita sebut sebagai nikel, emas, atau membuka lahan untuk monokultur skala industri, saya pikir Ini sebuah kesalahan yang berdampak besar terhadap keberlangsungan makhluk hidup. Maka secara tidak langsung ketika penahan air dan tanah dihilangkan, bencana adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Saat ini, setiap hujan deras bukan lagi berkah, melainkan kurir pembawa malapetaka, ia telah munculkan kekhawatiran tersendiri dalam diri setiap masyarakat. Tanah yang terkikis meluncur deras ke hilir, membawa bersamanya sedimen dan, yang lebih mengerikan lagi, residu logam berat dari aktivitas pertambangan, ini benar-benar malapetaka. Sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi kehidupan kini berubah menjadi selokan raksasa yang membawa kehancuran di hilir sungai. Kita akan saksikan bagaimana ekosistem pesisir mengalami kehancuran ketika di landa banjir.
Saya merasa ada yang salah dari cara pandang kita, dan ini jelas, adalah pelajaran dasar geografi yang tampaknya sengaja dilupakan oleh para pemegang izin pertambangan dan pemodal asing atau pribumi yang menggunakan jubah asing. Mereka menjual narasi “hilirisasi” dan “nilai tambah” sebagai mantra kemajuan. Namun, mereka lupa—atau pura-pura lupa—bahwa hilirisasi yang dibangun di atas kehancuran hulu adalah sebuah bangunan rapuh yang fondasinya adalah penderitaan rakyat dan kerusakan alam permanen.
Coba anda pikirkan! Kita mencabut hutan, meracuni sungai atas nama “Ekonomi Hijau” skala global. Tapi justru kita menciptakan suatu malapetaka ekologis. Ini keadaan yang paradoks dan sangat tragis. Bukan hanya itu, kita menyingkirkan masyarakat adat dari tanah leluhurnya, suatu tragedi yang melibatkan 11 warga Maba Sangaji adalah potret kerapuhan hukum negeri ini untuk memihak kepada keadilan. Proyeksi besar pertambangan Maluku Utara yang menyebabkan Deforestasi, sejatinya adalah kolonialisme ekologi, yang manfaat ekonominya dirasakan segelintir elite negara dan investor asing, sementara itu dampak buruknya ditanggung oleh masyarakat dan membiarkan mereka menjerit di hilir sungai