Oleh:
Aswan Alim (Kader HMI Kom. STKIP Ternate)
Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu yang harus dilihat oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari sejarah, kita belajar tentang letak-letak kesalahan dan keberhasilan. Kemajuan suatu bangsa hari ini dan esok sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap sejarahnya. Setiap manusia, baik secara individu maupun kolektif, tidak pernah lepas dari sejarah. Ia adalah instrumen dasar dalam membangun eksistensi masyarakat, baik dalam skala mikro maupun makro.
Indonesia sendiri tak terlepas dari sejarah ekspedisi pencarian rempah-rempah—dan di situlah kita dikenal dunia, khususnya Eropa, sebagai bagian dari “Hindia Timur”. Kepulauan ini, kaya akan pala, cengkeh, jahe, dan berbagai rempah lainnya, menjadi pusat perhatian global sejak abad ke-15.
Pencarian rempah menjadi pemicu perubahan besar dalam peradaban. Ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki Usmani dan jalur dagang ke Timur terputus, bangsa Eropa pun mulai mencari jalan laut ke sumber rempah secara langsung. Ekspedisi besar pun dimulai. Christopher Columbus, pada tahun 1492, memulai pelayarannya yang secara tak sengaja menemukan benua Amerika—sebuah titik balik yang kemudian menandai era kolonialisme global.
Rempah saat itu dianggap sebagai bahan aromatik surgawi oleh masyarakat Eropa pada abad ke-12. Nilai ekonominya sangat tinggi sehingga memicu ambisi Eropa untuk menguasai perdagangan rempah langsung dari sumbernya. Ketika perdagangan internasional mulai dikuasai oleh Turki Usmani, bangsa Eropa melahirkan “perjanjian suci” berupa semangat 3G: Gold, Glory, and Gospel. Perjanjian Tordesillas pada tahun 1494 membagi jalur pelayaran antara Spanyol dan Portugis.
Portugis di bawah Vasco da Gama, yang disempurnakan oleh Afonso de Albuquerque, akhirnya tiba di Maluku dan menemukan Ternate pada 1512. Sementara Spanyol melalui Ferdinand Magellan, yang dilanjutkan oleh Juan Sebastian Elcano, mencapai Tidore pada 1521. Dari titik inilah, Indonesia menjadi rebutan bangsa-bangsa besar: Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan kemudian Jepang.
Begitu berharganya rempah dalam sejarah global, tetapi sayangnya, rempah kini hanya tinggal jejak dalam catatan sejarah. Padahal, rempah adalah ciri khas bangsa ini, sebuah aset historis dan strategis yang seharusnya dirawat dan dikembangkan secara serius.
Bangsa ini seharusnya bangkit dengan membangun sumber daya manusia (SDM) dan mengelola sumber daya alam (SDA), termasuk rempah, sebagai identitas nasional. Pengelolaan dan reproduksi rempah seperti pala, cengkeh, dan jahe tidak boleh dibiarkan tenggelam dalam arus zaman sebagai sekadar kisah heroik masa lalu. Ia harus dijadikan strategi masa depan.
Potensi rempah sejatinya sejalan dengan potensi kemaritiman bangsa ini. Sebagai contoh, kawasan Maluku Utara setiap bulan mampu menghasilkan sekitar 14 ton ikan yang ditangkap oleh nelayan di perairan Halmahera dan Morotai. Jika potensi ini dikelola secara sistematis dan berkelanjutan—baik dalam sektor perikanan maupun rempah—maka Indonesia dapat mengalami lompatan besar dalam perekonomian, baik di tingkat lokal maupun internasional.