Oleh :

Taufik Hidayat Deba (Aktivis)

Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah kabupaten. Taliabu adalah anak bungsu dari pemekaran Provinsi Maluku Utara, kabupaten ini lahir dari sebuah mimpi, harapan dan cita-cita yang begitu besar yaitu mendekatkan kekuasaan kepada rakyat, membuka akses, membangun pelayanan, dan membawa terang ke wilayah-wilayah yang sebelumnya berada dalam bayang-bayang pinggiran. Namun dua belas tahun berselang, cahaya itu belum juga menyentuh banyak sudut pulau ini. Yang terasa justru seperti sebuah panggung besar yang gemerlap di depan, tapi remang dan berantakan di belakang layar. Taliabu masih gelap hingga di usia sekarang.

Kegelapan ini bukan sekadar soal listrik yang mati-hidup tanpa kepastian, atau lampu jalan yang tak pernah menyala di pelosok desa. Ia adalah metafora bagi pembangunan yang tersendat, kebijakan yang tak menyentuh akar masalah, dan kepemimpinan yang kehilangan arah. Infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, air bersih, dan sekolah masih jadi kemewahan di banyak wilayah. Tapi di Taliabu, yang ada hanyalah janji-janji yang dikemas dalam seremonial, baliho, dan pidato tahunan yang makin terasa hampa.

Lihatlah Kecamatan Taliabu Timur. Di sana, empat desa. Samuya, Parigi, Penu, dan Tubang, hidup dalam keterisolasian. Tak ada jalan darat yang menghubungkan mereka. Satu-satunya pilihan adalah menyusuri laut dengan perahu, membelah gelombang demi mengakses sekolah, pelayanan kesehatan, atau sekadar menjalin komunikasi antar sesama warga. Ini bukan situasi baru, ini telah berlangsung selama puluhan tahun, tapi pembangunan belum juga menyentuh mereka.

Atau coba menengok ke Taliabu Selatan, di mana akses antara Desa Galebo dan Bapenu tak kunjung dibuka. Selama dua belas tahun, masyarakat terpaksa bergotong royong memperbaiki jalan rusak dengan peralatan seadanya. Permohonan telah diajukan, aspirasi telah disuarakan, namun pemerintah tetap tak bergeming. Jalan-jalan itu masih berlumpur, jembatan masih jadi impian, dan keselamatan menjadi taruhan setiap hari.

BACA JUGA   Imran; Habis Cacian Terbitlah Harapan

Sementara itu, di Desa Limbo dan Lohobuba, air bersih menjadi barang langkah. Padahal, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp52,2 miliar melalui APBN tahun 2019 dan melakukan optimalisasi pada tahun 2023 untuk proyek penyediaan air bersih melalui instalasi pipa bawah laut sepanjang 11 km, proyek ini belum memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat setempat yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa. Permasalahan utama terletak pada pipa bawah laut yang kerap mengalami lilitan, sehingga aliran air tidak dapat mencapai pemukiman warga secara optimal.

Pembangunan jalan juga mengalami nasib serupa. Jalan-jalan penghubung antar wilayah yang seharusnya menjadi urat nadi pembangunan justru menjadi pengingat akan janji-janji yang belum ditepati. Ruas jalan antara Kecamatan Taliabu Barat Laut dan Kecamatan Lede, serta jalan yang menghubungkan Desa Beringin ke Desa Nggele dan selanjutnya ke Desa Lede, termasuk Jalan Air Lise, mengalami kerusakan parah. Lumpur, kubangan air, dan lubang-lubang besar menjadi pemandangan sehari-hari, terutama saat musim hujan datang. Bagi masyarakat yang mengandalkan kendaraan roda dua atau roda empat, perjalanan bukan hanya soal jarak, tapi juga barangkali soal pertaruhan nyawa.