Hardiknas dalam Paradoks Pembangunan: Ketika Tambang Menjadi Prioritas dan Sekolah Hanya Formalitas

Oleh :

Gusti Ramli (Formateur Ketua Umum SEMA HABAR Kota Ternate)

Di suatu pagi yang lembab di Loloda, Halmahera Barat, sekelompok anak berjalan kaki melewati jalan setapak menuju sekolah dasar satu-satunya di kampung itu. Di gerbang sekolah itu, terdapat lumpur yang tergenang sehabis hujan membasahi tanah Kapita Sikuru. Sebagian anak-anak tanpa alas kaki mulai memasuki ruang kelasnya. Di sisi lain pulau, deru alat berat tambang membelah bukit mencari emas yang terkandung dalam perut bumi Ngara Ma Beno.

Kecamatan Loloda di Halmahera Barat kini jadi salah satu wilayah dengan geliat investasi tambang yang meningkat. Perusahaan-perusahaan besar mulai menancapkan taringnya, mengeksplorasi perut bumi yang kaya emas dan gas. Pemerintah daerah menyambutnya dengan semangat, berharap ada peningkatan PAD, infrastruktur, dan kesejahteraan.

Namun, di tengah deru alat berat dan janji pembangunan, ada kenyataan yang memprihatinkan; pendidikan diabaikan.

Inilah dilema yang kini membayangi Kecamatan Loloda, Kabupaten Halmahera Barat. Di tengah euforia investasi tambang emas dan gas bumi yang digencarkan pemerintah daerah, muncul pertanyaan mendasar; siapa yang benar-benar diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan?

Fenomena ini menggambarkan bagaimana pembangunan yang fokus pada sumber daya alam (SDA) cenderung melupakan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kekayaan alam Loloda bisa habis dalam satu generasi, namun ketimpangan dan kemiskinan bisa terus berlangsung jika pendidikan terus diabaikan.

Data dari BPS menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah di Halmahera Barat masih di bawah 8 tahun. Sarana pendidikan minim, tenaga pengajar terbatas, dan banyak anak-anak di pelosok harus menempuh jarak berkilo-kilometer hanya untuk bersekolah. Alih-alih memperbaiki kondisi ini, investasi pertambangan justru menciptakan distorsi baru dalam orientasi generasi muda; bekerja di tambang lebih menjanjikan daripada melanjutkan pendidikan.

BACA JUGA   Mencegah Bukan Memaklumi Tindakan Bullying Anak

Seorang Dosen yang saya kenal di sebuah kafe Kota Ternate menyeru; pembangunan sejati bukan hanya soal membangun jalan atau mengejar pendapatan daerah, ia harus dimulai dari membangun manusia, dari ruang kelas yang layak, dari guru yang dihargai, dan anak-anak yang punya mimpi.

Suatu waktu, saya mengunjungi Desa Totala Jaya di Kecamatan Loloda. Sebuah desa yang terletak jauh di tengah belantara hutan Ngara Ma Beno. Untuk mencapai desa ini, perjalanan tidaklah mudah. Kami harus menyusuri sungai yang deras, menuruni lembah yang curam, dan mendaki pegunungan yang memisahkan desa ini dari dunia luar. Akses menuju desa Totala Jaya terbilang sangat terbatas, bahkan bagi mereka yang terbiasa dengan medan berat sekalipun.

Namun, di balik kesulitan itu, saya menemukan kenyataan yang mencolok: di tengah tantangan alam yang begitu besar, pendidikan dan pembangunan masih menjadi barang yang langka.

Fenomena ini bukan sekadar isapan jempol. Di daerah tetangga seperti Halmahera Tengah, kehadiran tambang menyebabkan penurunan minat melanjutkan pendidikan tinggi. Para remaja lebih memilih mengais rezeki di sektor pertambangan ketimbang melanjutkan studi yang hasilnya tak pasti.

Just a moment...