Turning Point: Tambang, Negara, dan Masyarakat Adat Maba

Oleh:

Fajjin Amiiq Tarwan (Ketua Umum Himagrotek Unkhair, Kabid P.A dJAMAN MALUT Komisariat Unkhair II)

April tahun 2025, konflik ruang hidup yang melibatkan masyrakat adat Kesultanan Tidore di wilayah Sangaji (pemimpin adat setara distrik atau kecamatan) Maba dan Qimalaha (pemimpin adat setara kelurahan dan dusun) Wayamli Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Maba Tengah mencuat di permukaan.

Klaim dan penyerobotan lahan antara PT. Sambiki Tambang Sentosa (STS) terhadap lahan adat telah memicu masyarakat diwilayah adat sangaji maba ini merespon hingga pada tahapan aksi protes, media-media lokal hingga nasional ramai memberitakan polemiki yang telah melibatkan pihak perusahaan, masyrakat adat, Pemkab Hamahera Timur, hingga pihak Kesultanan Tidore.

Sebelumnya, aktivitas PT. STS yang diduga menyerobot lahan masyarakat adat dengan mengatas namakan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang diterbitkan oleh Bupati Halmahera Timur Welhelmus Tahalele, pada 7 Desember 2009 silam yang memiliki konsesi seluas 4.480 hektar.

Faktanya, perusahaan patungan ini sebagian besar sahamnya dimiliki pihak asing asal singapura yakni Esteel Enterprise PTE dan Ltd sebesar 70%, sisanya dimiliki oleh PT Bahtera Mineral Nusantara (BMN) asal indonesia (mongabay.co 27/4/2025). Meski demikian, luas lahan empat ribu hektar lebih ini, sebagiannya berstatus di atas tanah adat masyrakat maba.

Penyerobotan lahan ini mengungkapkan persoalan serius yang selama ini melingkupi industri pertambangan di Indonesia. Saling caplok dan penyerobotan lahan, pengabaian hak-hak masyarakat adat, kerusakan lingkungan yang makin menganga, reboisasi yang hanya sekadar laporan teori belaka, dan lemahnya perlindungan negara terhadap rakyat, adalah serpihan kecil dari banyaknya masalah yang selama ini telah telah kita saksikan.

Padahal, “Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat mestinya berkiblat langsung pada UUD 1945 pasal 28I ayat (3) dan pasal 18B ayat (2), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman” Muhammad Hasan Basri, direktur Pusat Studi Konstitusi (updateinews.com 30/4/2025).

BACA JUGA   Hasil Rekap Sementara: Ubaid Anjas Unggul Jauh!

Dari perspektif sosialis, korporasi tambang seperti PT. STS yang ada di Indonesia adalah simbol nyata eksploitasi kapitalis yang mengorbankan hak-hak masyarakat adat demi keuntungan segelintir pemilik modal. Penjajahan wilayah dan sumber daya alam oleh perusahaan tambang memperdalam ketimpangan sosial dan menimbulkan konflik berkepanjangan di wilayah adat. Status quo negara yang setubuh dengan kapitalisme akan mengutamakan akumulasi modal tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan, sehingga akan berefek pada masyarakat adat dan pekerja tambang yang menjadi korban dari sistem yang ruci (curang). Faktor-faktor ini yang akan menjadi cikal-bakal gejolak yang kita saksikan sekarang.

Praktik bengis ini menunjukkan bagaimana kekuasaan ekonomi korporasi memperkuat dominasi politik dan sosial yang menindas masyrakat adat. Alih-alih memberdayakan, korporasi hanya memberikan janji-janji palsu melalui program Corporate Social Responsibility yang seringkali hanya sebagai alat legitimasi semu. Keselarasan antara konstitusi sebagai jaminan bernegara mesti sejalan dengan implementasi di lapangan, bukan hanya sekadar dijadikan nyanyian kantuk belaka. Lebih parah lagi kebebalan korporasi yang membangkang.

Just a moment...