Oleh:
Sriyanti Nihi (Aktivis Perempuan)
Di Hari Buruh, saat kita mengenang perjuangan kaum pekerja dalam menuntut keadilan dan kesejahteraan, penting untuk menyoroti peran buruh Perempuan yang sering kali terpinggirkan dalam narasi besar pergerakan buruh. Melalui kacamata pemikiran Simone de Beauvoir, seorang filsuf dan feminis eksistensialis yang berasal dari Prancis, kita diajak untuk memahami lebih dalam tentang dinamika penindasan dan perlawanan yang dihadapi oleh Perempuan dalam dunia kerja.
Simone de Beauvoir dalam karyanya The Second Sex mengemukakan bahwa Perempuan sering kali diposisikan sebagai ‘liyan’ atau ‘yang lain’ dalam masyarakat yang patriarkal. Dalam konteks dunia kerja, hal ini tercermin dari bagaimana pekerja Perempuan, terutama du ranah domestic dan sektor informal, sering kali tidak diakui nilainya.
Pekerja seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, atau bekerja di sektor informal sering kali dianggap sebagai perpanjangan dari peran alami Perempuan, bukan sebagai kontribusi ekonomi yang layak dihargai. Akibatnya, buruh Perempuan menghadapi diskriminasi ganda: sebagai pekerja dan sebagai Perempuan.
Beauvoir menekankan bahwa Perempuan tidak dilahirkan sebagai Perempuan, melainkan menjadi Perempuan melalui konstruksi sosial. Dalam kerang eksistensialisme, kebebasan individu menjadi pusat perhatian. Perempuan didorong untuk menyadari situasi mereka dan mengambil tanggung jawab atas eksistensi mereka sendiri. Dalam dunia kerja, ini berarti buruh Perempuan perlu menyadari struktur-struktur yang menindas mereka dan berjuang untuk mengubahnya, bukan hanya menerima keadaan sebagai takdir.
Kebebasana akan hanya dicapai melalui kesadaran kritis terhadap kondisi yang menindas dan perjuangan untuk mengubahnya. Dengan demikian, perjuangan Perempuan dalam dunia kerja bukan hanya tentang menuntut hak-hak ekonomi. Namun untuk merebut kembali subjektualitas menjadi subjek dalam hidup Perempuan itu sendiri, bukan objek dari pandangan masyarakat patriarkal. Dalam kacamata Beauvoir, solidaritas menjadi sangat penting untuk mendorong Perempuan bersatu menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami, dan berjuang bersama untuk membongkar struktur sosial yang menindas. Perjuangan ini bukan hanya untuk kepentingan individu semata, tetapi untuk kepenting kolektif Perempuan sebagai kelas yang terindas. Dengan demikian, melalui kacamata eksistensialisme Beauvoir, isu buruh Perempuan menjadi panggilan untuk kesadaran, kebebasan, dana solidaritas untuk mengubah dunia kerja menjadi orang yang adil dan setara bagi semua.
Perlawanan buruh Perempuan tidak hanya terjadi di ranah public seperti unjuk rasa atau serikat pekerja, tetapi juga di ranah privat. Beauvoir menunjukkan bahwa perjuangan Perempuan mencakup upaya untuk mendefinisikan ulang peren mereka dalam keluarga dan masyarakat. Dengan menolak peran-peran tradisional yang membatasi, Perempuan dapat membebaskan diri dari penindasan structural yang telah lama mengakar. Dalam konteks buruh, ini berarti memperjuangkan hak-hak seperti cuti melahirkan, upah yang setara, dan perlindungan dari pelecehan di tempat kerja.