Metaverse, Siapkah Kita?

Oleh : Faisal Tomi Saputra*

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat membawa manusia ke arah teknologi yang semakin canggih. Perjalanan revolusi industri 1.0 hingga 4.0 semakin meminimalisir peran manusia sebagai (penghuni alam semesta). Belum rampung membahas revolusi industri 4.0 dan perubahan perilaku masyarakat dalam society 5.0 dan disrupsi teknologi. Muncul kembali istilah yang menggemparkan jagat maya yakni metaverse.

Istilah metaverse populer setelah CEO Facebook, Mark Zuckerberg mengubah nama perusahaannya Facebook menjadi Meta Platforms Inc., atau Meta. Rebranding nama tersebut merupakan sebuah visi futuristik untuk menjawab tantangan dunia virtual yang tidak hanya dilihat pada layar tapi juga dapat dimasuki secara riil sebagai sebuah virtual universe yang mirip dengan aslinya.

Mark rela menggelontorkan dana sebesar USD 10 miliar untuk pengembangan teknologi dan perangkat metaverse. Bahkan Goldman Sach memprediksikan pengembangan teknologi metaverse ini akan menembus USD 1,35 triliun. Tidak hanya Facebook (Meta Inc.) yang mulai mengembangkan teknologi metaverse ini, perusahaan apparel olahraga Adidas, Samsung dan selebriti hollywood Snoopdog juga membeli tanah di metaverse.

Metaverse sebelumnya telah dipopulerkan oleh Neal Stephenson dalam novelnya berjudul Snow Crash (1992) yang merujuk pada dunia virtual 3 dimesinsi (3D) yang dihuni oleh avatar manusia sesungguhnya. Munculnya metaverse, memungkinkan manusia melakukan berbagai kegiatan yang sebelumnya dilakukan secara riil (nyata).

Secara etimologis, Metaverse terdiri dari dua kata yakni meta yang berarti melampaui dan verse atau universe yang berarti semesta. Metaverse berarti dunia yang melampaui semesta, realitas, imajinasi dan ekspektasi. Secara umum metaverse merupakan sebuah ekosistem yang menggabungkan teknologi Virtual Reality, Augmented Realty dan juga Artificial Intelegence (AI).

Meski dilakukan secara virtual, pengalaman yang  dirasakan oleh penggunanya bersifat realtime seperti halnya di dunia nyata. Dengan dukungan perangkat teknologi yang menunjang seperti, komputer, smartphone, headset VR, kacamata pintar dan sarung tangan yang di desain khusus.

BACA JUGA   Perkembangan Fintech di Masa Pandemi

Metaverse merupakan keberlanjutan dari evolusi teknologi yang semakin canggih sehingga dapat menghilangkan batas-batas ruang waktu dan bahkan membangun kehidupan “universe” nya sendiri. Dunia virtual yang memiliki arti yang luas dan berkembang secara eksponensial telah sampai kepada versi terbarunya yakni Web 3.0. Pergeseran bentuk dari dua dimensi (teks, foto, video) ke dunia virtual tiga dimensi yang kemudian di kenal dengan metaverse.

Metaverse memiliki tiga elemen utama yakni, Virtual Reality (VR) dan Artificial Intellegence (AI), Web 3.0 dan Blockchain. Teknologi Virtual Reality (VR) merupakan interaksi dari pengguna (user) yang dibuat oleh komputer, termasuk di dalamnya Artificial Intellegence (AI) dan IoT (Internet of Things). Web 3.0 yang merupakan versi terbaru dari layanan internet yang memungkinkan kita lebih leluasa menggunakan perangkat dan konten virtual yang dihasilkan sendiri, memperbarui Web 1.0 Published Content Static dengan basis data tunggal (single database) yang hanya dimiliki oleh penyedia layanan yang bersifat statis seperti contohnya website HTTP/SMTP.

Kemudian ada Web 2.0 User Generated Content di mana pengguna (user) dapat memproduksi konten yang akan dipublikasikan, meski data utama masih tersentralistik di penyedia layanan (centralized database) dan bersifat lebih dinamis, seperti yang saat ini kita gunakan misalnya protocol XML/RSS. Web 3.0 User Owned Content berarti pengguna dapat menguasai secara penuh konten/aset digital yang ia miliki tanpa ada intervensi dari penyedia layanan (platform) atau bersifat Decentralized Database, contohnya teknologi blockchain yang sudah mulai dikenali masyarakat umum.

Blockhain sendiri merupakan teknologi pencatatan data yang bersifat desentralisasi dan tidak dikuasai pihak/entitas tertentu. Pengguna biasanya menggunakan blockchain dalam bentuk mata uang kripto (crypto currency) dengan monetisasi konten digital atau komisi dari penjualan konten digital.  Mata uang yang digunakan dalam menunjang ekosistem metaverse pun sudah mulai dikenal dan digunakan oleh masyarakat hari ini. Uang kripto Bitcoin (BTC), Etherium (ETH), MANA, SANDS, AXS, dan lain-lain. Dengan beragam produk-produk yang telah tersedia di marketplace yang juga bersifat virtual seperti tanah, rumah, mobil, pakaian, aksesoris, karya seni, dll.

BACA JUGA   Sekolah yang Bangkrut

Metaverse yang sudah mulai berjalan sekarang dapat dilihat gambarannya dalam game populer “roblox” yang ada di ekosistem blockchainsandbox”. Selain itu, ada “decentraland” yang ada di ekosistem blockchain “mana” dan beberapa platform lainnya. Untuk dapat mengakses platform tersebut kita harus memiliki aset digital yg digunakan sebagai alat pertukaran di dunia metaverse versi platform masing-masing.

Meski demikian, platform tersebut secara grafik masih rendah dan butuh pengembangan lebih lanjut, untuk benar-benar menciptakan semesta (universe) baru yang saling terhubung menjadi satu universe yang dikenal dengan metaverse.

Peluang dan Ancaman Metaverse?

Dalam konteks pengembangan teknologi semua hal bisa terjadi, bahkan dari hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sudah tentu ada implikasinya bagi manusia, karena  teknologi sejatinya adalah alat bantu yang memudahkan manusia  dalam menjalani hidup. Pengembangan teknologi  tetap harus memperhatikan norma-norma/etika yang berlaku dalam dunia riil. Meski teknologi yang dikembangkan berkembang begitu pesat dan canggih, tetapi ketika bertentangan dengan norma sosial yang berlaku maka hal tersebut tidak diperkenankan.

Penggunaan teknologi yang berlebihan (overuse) dapat memberikan dampak yang kurang baik. Akses informasi yang sangat luas, memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk memanfaatkannya. Di sisi lain hal itu tidak ditunjang dengan akses pendidikan yang memadai, sehingga ketika akses terhadap teknologi (internet) yang begitu luas sedangkan akses pendidikan masih terbatas, hal ini menimbulkan kesenjangan dalam perilaku individu di masyarakat dan cenderung merubah kultur (budaya) aslinya, sehingga dibutuhkan literasi dalam penggunaan teknologi baru.

Metaverse dipandang sebagai sebuah fenomena “ada” dalam dunia maya, sedangkan alam semesta (realita) merupakan fenomena “ada” dalam dunia nyata. Meski terdapat perbedaan dimensi di mana keduanya (metaverse dan universe) berada, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya memang ada. Meski demikian, metaverse membuat manusia tak lagi tahu membedakan realitas tak nyata (tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupannya) dengan yang nyata. Hal ini disikapi dengan bijak, siapkah kita? Apakah metaverse ini merupakan peluang atau justru ancaman bagi kehidupan manusia di masa depan?

BACA JUGA   HMI BAHAGIA: “JALAN TENGAH” HMI MENUJU INDONESIA MAJU


*) Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang