HMI BAHAGIA: “JALAN TENGAH” HMI MENUJU INDONESIA MAJU

Oleh:

Rorano S. Abubakar

(Kandidat Ketua Umum PB HMI Periode 2023-2025)

Indonesia adalah buah dari tirakat serta perjuangan panjang para leluhur negeri berjuluk ratna mutu manikam ini. Tepat pada sebuah etape tentang perjuangan panjang tersebut, imajinasi kolektif menjadi Indonesia itu lantas diikrarkan. Sebuah ikrar yang menegaskan tentang ke-bineka tunggal ika-an sebagai identitas manusia Indonesia itu sendiri. Ikrar tentang kehidupan berbangsa, bertanah air serta berbahasa yang satu, yaitu Indonesia.

Uniknya, imajinasi kolektif tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang justru bisa disatukan melalui cita rasa atau ekspresi kebudayaan yang beragam. Di sisi lain, keunikan itu pula tentu tidak terlepas dari eksistensi pergerakan kaum pemuda sebagai urat nadi gerakan kebangsaan ketika itu (baca: 28 Oktober 1928) yang dampaknya masih terus kita rasakan hingga mengawali era Society 5.0 atau era Artifcial Intelengence (AI) saat ini.

Sehingga ciri khas keindonesiaan itu sudah sepatutnya selalu dapat dikontekstualisasi ke dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun kelembagaan di tengah-tengah realitas masyarakat yang terus berubah. Pada konteks personal, ciri khas dimaksud merupakan modalitas yang urgen sebagai proses membentuk kepribadian yang senantiasa memiliki sense of social awareness, sense of leadership, dan lain-lain. Sementara pada level kelembagaan, ciri khas tersebut lebih menyerupai semacam role model, madzhab, dan sebagainya dalam upaya menjalankan roda kehidupan suatu organisasi.

Catatan sederhana penulis dalam rangka menyambut bulan pemuda kali ini lebih dititik beratkan pada konteks kelembagaan. Tentu yang penulis maksudkan tak lain dan tak bukan adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu di antara wadah strategis kemahasiswaan di mana penulis ikut berkecimpung di dalamnya saat ini. Oleh sebabnya, hemat penulis, jika pada fase Sukarno-Hatta dalam mencapai Indonesia Merdeka kala itu melalui peristiwa menyejarah tahun 1945 ditandai oleh momentum proklamasi, maka fase pasca Sukarno-Hatta dalam mencapai Indonesia Maju pada 2045 nanti, akan menjadi sejarah baru bagi bangsa ini. Tentu salah satu lokomotif penggeraknya ke arah pencapaian momentual itu adalah HMI.

 

Menubuh pada selarik Hymne

“Bersyukur dan Ikhlas

Himpunan Mahasiswa Islam

Yakin Usaha Sampai

Untuk Kemajuan

Hidayah dan Taufiq

Bahagia HMI…

 

Berdoa dan Ikrar

Menjunjung Tinggi Syiar Islam

Turut Qur’an dan Hadits

Jalan Keselamatan

Ya Allah Berkati

Bahagia HMI…”

Buana & Kurniadi (2014) menyebutkan bahwa pada Kongres ke-V yang diselenggarakan di Medan tanggal 24 – 31 Desember 1957 menghasilkan keputusan: Pertama, mengesahkan hymne HMI, syair lagunya diciptakan oleh R. M. Akbar. Kedua, merumuskan tafsir asas HMI. Di samping sebelas keputusan lainnya.

BACA JUGA   Menghijaukan Ekonomi

Sang pencipta hymne, R.M. Akbar atau sebagaimana dilansir dari berbagai sumber literatur yang penulis sadur, bahwa nama R. M. adalah Raden Muslim. Seorang aktifis HMI dari Cabang Medan ketika itu. Beliau lantas dicatat dalam sejarah HMI sebagai pencipta hymne HMI, di samping beberapa nama yang identik dengan HMI di antaranya mendiang Prof. Lafran Pane (1922-1991) atau Cak Nur (1939-2005) dan masih banyak lagi.

Perihal teks hymne itu sendiri, penulis hendak memberi semacam tafsir terhadap potongan baris atau larik tertentu yang notabene telah begitu menginspirasi penulis, bahkan penulis gunakan sebagai tagline dalam proses kandidasi penulis sebagai calon ketua umum PB HMI Periode 2023-2025 yang akan dihelat nanti di Pontianak, Kalimantan Barat.

Berangkat dari sebuah tesis Roland Barthes (1915-1980), seorang ahli semiotika dan filsuf dari Prancis, tentang “Matinya Pengarang” (the death of author), penulis tentu memosisikan diri sebagai pembaca teks hymne HMI karangan R.M. Akbar tersebut. Menurut penulis, keseluruhan teks atau lirik dari hymne itu bertumpu pada frasa “Bahagia HMI” yang disebutkan hingga dua kali sebagai penutup bait, baik di bait pertama maupun kedua.

Frasa “Bahagia HMI” dalam konteks ini (baca: bait pertama) memberi makna tentang sebuah kondisi di mana pertolongan (“hidayah dan taufiq”) dari sang maha memberi pertolongan itu mutlak menjadi penyebab paling utama (causa prima) sebagai kehendak universal. Pada konteks ini mencapai bahagia atau kebahagiaan ditentukan oleh alasan determinatif. Sementara pada bait kedua, frasa tersebut justru menjelaskan tentang sebuah kondisi emosional yang dialami lantaran upaya atau ikhtiar (yang di-“berkati”).

Jadi, perihal Bahagia HMI dalam hal ini menyangkut dengan dua konteks makna sekaligus, yaitu tentang kehendak universal dan ikhtiar manusia. Yang pertama bersifat determinan, sementara yang kedua bersifat non determinan. Keduanya praktis menjadi “jalan” yang dapat ditempuh oleh setiap kader HMI untuk mencapai tujuan HMI berdasarkan pasal 4 anggaran dasar HMI.

 

Indonesia Maju “madzhab” HMI: Tafsir tematis atas Khaldun, Durkheim dan NDP

Dalam sebuah kebetulan, perayaan Hari Sumpah Pemuda kali ini bertepatan dengan hiruk pikuk menyambut perhelatan “pesta” demokrasi limatahunan bernama pemilu (pemilihan umum). Kurang lebih tiga pasangan calon presiden dan calon wakil (capres-cawapres) presiden telah secara resmi terdaftar di lembaga penyelenggara pemilu pada beberapa waktu lalu, pun dalam selang waktu yang berdekatan di bulan pemuda ini. Ketiga pasangan capres-cawpres tersebut setali tiga uang adalah subyek yang menentukan semakin erat atau justru merenggangnya temali harapan kita selaku masyarakat bangsa ini untuk terus eksis menjadi Indonesia di masa akan datang. Setidaknya sampai lima tahun ke depan.

BACA JUGA   Jangan Jadi Pengusaha

Momentum perayaan Hari Sumpah Pemuda ini sekaligus sebagai pengingat yang tegas bahwa sebagai sebuah ikrar dan spirit kaum pemuda, Indonesia telah jauh hadir menjadi rumah bersama yang telah dihuni dan dirawat hingga kini. Artinya, dengan tidak memungkiri potensi keterbelahan yang akan dan sedang terjadi akibat gesekan-gesekan politik menuju pesta demokrasi ini, baik di level elite maupun di basis akar rumputnya, maka upaya kolektif kaum pemuda untuk terus menjaga kewarasan publik agar tetap sejuk dan kondusif adalah sebuah pilihan sadar dan final. Terlepas dari apapun pilihan politik dalam momentum pemilu 2024 besok.

Sebab, tak dapat disangkal bahwa pekikan ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 tersebut menjadi saksi sekaligus monumen politik kebangsaan yang dipahat oleh generasi muda kala itu yang bersenyawa dengan dasar semangat keindonesiaan mereka yang terus berkobar meskipun tengah berada dalam tekanan atau ancaman yang membahayakan persatuan mereka atas nama tanah air, bangsa dan bahasa itu.

Sehingga tepat pada kondisi kesejarahan inilah, penulis hendak memproyeksikan sebuah gagasan penting mengenai Indonesia pada satu atau dua dekade ke depan yang lebih sigap merespons segala tantangan zaman yang penulis beri tajuk sebagai: Indonesia Maju “madzhab” HMI di atas.

Lantas, mengapa “madzhab” HMI? Bukankah selain HMI, terdapat pula organisasi-organisasi berbasis kemahasiswaan atau kepemudaan lainnya atau yang kerap disebut organisasi Cipayung itu yang juga memiliki cara pandang tentang Indonesia? Tentu pada ruang ini penulis tidak bermaksud membuat semacam generalisasi mewakili semua unsur kelembagaan dimaksud. Tentang “madzhab” HMI untuk Indonesia Maju semata-mata merupakan percikan dari sebuah ritus permenungan penulis sebagai seorang kader HMI.

Ada tiga hal mendasar yang hendak penulis kemukakan. Pertama, menurut penulis, keindonesiaan kita adalah buah dari kerekatan atau solidaritas yang telah terjalin atas dasar rasa senasib sepenanggungan sebagai sebuah bangsa atau pertalian sejarah dari peradaban yang sama. Atau yang diistilahkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1406), seorang sosiolog dan pemikir politik terkemuka, sebagai ashabiyah. Sebab dari ashabiyah inilah rasa bersatu itu eksis. Menurut Ibnu Khaldun dalam sebuah magnum opusnya berjudul Mukaddimah (1986), pertalian ashabiyah dalam maknanya lebih luas merupakan perasaan yang mengikat dalam sebuah persaudaraan atau sebuah solidaritas kolektif. Perasaan ini diikat oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air dan bahasa.

BACA JUGA   Urgensi Penataan Sistem Pemilu sebagai Upaya Penguatan Stabilitas Sistem Pemerintahan Presidensial

Kedua, beberapa abad setelah Ibnu Khaldun, konsep tentang solidaritas sosial juga dikemukakan oleh seorang sosiolog dan antropolog bernama Émile Durkheim (1858-1917). Menurut Durkheim, solidaritas sosial itu terdiri dari dua bentuk, yakni solidaritas sosial mekanik dan solidaritas organik. Jika bentuk yang pertama lebih identik atau berlaku pada masyarakat primitif, maka yang kedua lebih merepresentasi bentuk ikatan pada masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang sudah mengenal adanya pembagian kerja dan dipersatukan oleh sifat saling ketergantungan.  Pendeknya, bentuk kedua ini secara substansial sebagaimana yang dikemukakan Khaldun tentang ashabiyah dalam makna yang luas itu.

Ketiga, dari kedua konsep tentang ashabiyah dan solidaritas sosial organik tersebut, penulis lantas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “madzhab” HMI adalah konsep-konsep mendasar yang bersifat universal sebagai tafsir atas realitas masyarakat yang di dalamnya juga mengulas perihal pertalian atau solidaritas sosial. Tafsir tersebut galibnya disebut di kalangan kader atau anggota HMI sebagai tafsir NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan). NDP sendiri disusun langsung oleh mendiang Prof. Nurkholis Madjid () atau yang akrab disapa Cak Nur dan beberapa teman sesama alumni HMI ketika itu. NDP terdiri dari 7 (tujuh) bab yang saling berkelindan antara satu bab atau bagian dengan bagian lainnya. Secara spesifik tentang solidaritas sosial tersebut dibahas pada bab lima dan enam, yakni: “Individu dan Masyarakat” dan “Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi.”

Ketiga hal atau konsep mendasar yang telah penulis kemukakan tersebut, terutama NDP sebagai “madzhab” HMI, tentu menjadi argumentasi penulis perihal diskursus tentang Indonesia Maju. Sebab kemajuan Indonesia sendiri secara hakikat bertumpu pada akar persatuan dan kesatuan dalam sebuah solidaritas sosial sebagaimana spirit Sumpah Pemuda. Sehingga tanpa berpijak pada tumpuan itu, Indonesia akan mudah runtuh lalu punah. Dengan demikian, maka inilah “jalan tengah” dimaksud. Sebuah jalan HMI (HMI’s Way) menuju Indonesia Maju. Jalan menuju HMI yang bahagia, yang diridhai Allah yang maha Esa.

Salam Pemuda!